spiritual kita seperti laut, kadang pasang kadang surut, jiwa kita seperti langit, kadang cerah kadang mendung, pengetahuan kita seperti kaca, kadang jernih kadang buram---------Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Monday 23 September 2013

Aku Lelaki

Assalamu'alaikum wr wb.... Jangankan lelaki biasa, Nabi pun terasa sunyi tanpa wanita. Tanpa mereka, hati, fikiran, perasaan lelaki akan resah. Masih mencari walaupun sudah ada segala - galanya. Apalagi yang tidak ada di syurga, namun Nabi Adam a.s. tetap merindukan siti hawa. Kepada wanitalah lelaki memanggil ibu, istri atau puteri. Dijadikan mereka dari tulang rusuk yang bengkok untuk diluruskan oleh lelaki, tetapi kalau lelaki sendiri yang tidak lurus, tidak mungkin mampu hendak meluruskan mereka. Tak logis kayu yang bengkok menghasilkan bayang-bayang yang lurus. Luruskanlah wanita dengan cara petunjuk Allah, karena mereka diciptakan begitu rupa oleh mereka. Didiklah mereka dengan panduan dariNya: JANGAN COBA JINAKKAN MEREKA DENGAN HARTA, NANTI MEREKA SEMAKIN LIAR, JANGAN HIBURKAN MEREKA DENGAN KECANTIKAN, NANTI MEREKA SEMAKIN MENDERITA, Yang sementara itu tidak akan menyelesaikan masalah, Kenalkan mereka kepada Allah, zat yang kekal, disitulah kuncinya. AKAL SETIPIS RAMBUTNYA, TEBALKAN DENGAN ILMU, HATI SERAPUH KACA, KUATKAN DENGAN IMAN, PERASAAN SELEMBUT SUTERA, HIASILAH DENGAN AKHLAK . Suburkanlah karena dari situlah nanti mereka akan nampak penilaian dan keadilan Tuhan. Akan terhibur dan berbahagialah mereka, walaupun tidak jadi ratu cantik dunia, presiden ataupun perdana mentri negara atau women gladiator. Bisikkan ke telinga mereka bahwa kelembutan bukan suatu kelemahan. Itu bukan diskriminasi Tuhan. Sebaliknya, disitulah kasih sayang Tuhan, karena rahim wanita yang lembut itulah yang mengandungkan lelaki2 wajah: negarawan, karyawan, jutawan dan wan-wan lain. Wanita yang lupa hakikat kejadiannya, pasti tidak terhibur dan tidak menghiburkan. Tanpa ilmu, iman dan akhlak, mereka bukan saja tidak bisa diluruskan, bahkan mereka pula membengkokkan. LEBIH BANYAK LELAKI YANG DIRUSAKKAN OLEH PEREMPUAN DARIPADA PEREMPUAN YANG DIRUSAKKAN OLEH LELAKI. SEBODOH-BODOH PEREMPUAN PUN BISA MENUNDUKKAN SEPANDAI-PANDAI LELAKI. Itulah akibatnya apabila wanita tidak kenal Tuhan, mereka tidak akan kenal diri mereka sendiri, apalagi mengenal lelaki. Kini bukan saja banyak boss telah kehilangan secretary, bahkan anakpun akan kehilangan ibu, suami kehilangan istri dan bapak akan kehilangan puteri. Bila wanita durhaka dunia akan huru-hara. Bila tulang rusuk patah, rusaklah jantung, hati dan limpa. Para lelaki pula jangan hanya mengharap ketaatan tetapi binalah kepemimpinan. Pastikan sebelum memimpin wanita menuju Allah PIMPINLAH DIRI SENDIRI DAHULU KEPADA-NYA. jinakan diri dengan Allah, niscaya jinaklah segala-galanya dibawah pimpinan kita. JANGAN MENGHARAP ISTRI SEPERTI SITI FATIMAH, KALAU PRIBADI BELUM LAGI SEPERTI SAYIDINA ALI wassalam

Mencintai

Sangatlah menyakitkan mencintai seseorang, tetapi tidak dicintai olehnya.Tetapi lebih indah untuk mencintai dan tidak pernah menemukan keberanian untuk memberitahu mereka apa yang kamu rasakan. Mungkin Tuhan menginginkan kita untuk bertemu dengan orang yang tidak tepat sebelumnya. Jadi ketika kita akhirnya bertemu dengan orang yang tepat, kita akan tahu betapa berharganya anugerah tersebut. Cinta adalah ketika kamu membawa perasaan, kesabaran dan romantis dalam suatu hubungan dan menemukan bahwa kamu peduli dengan dia. Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu.Hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan kamu harus membiarkannya pergi. Ketika pintu kebahagiaan tertutup, yang lain terbuka.Tetapi kadang-kadang kita menatap terlalu lama pada pintu yang telah tertutup itu sehingga kita tidak melihat pintu lain yang telah terbuka untuk kita. Teman yang terbaik adalah teman dimana kamu dapat duduk bersamanya dan merasa terbuai, dan tidak pernah mengatakan apa-apa, dan kemudian berjalan bersama. Perasaan seperti itu adalah percakapan termanis yang pernah kamu rasakan. Benarlah bahwa kita tidak tahu apa yang kita dapatkan sampai kita kehilangan itu ??Tetapi benar juga bahwa kita tidak tahu apa yang hilang sampai itu ada. Memberikan seseorang semua cintamu tidak pernah menjamin bahwa mereka akan mencintai kamu juga !!! Jangan mengharapkan cinta sebagai balasan, tunggulah sampai itu tumbuh didalam hati mereka.Tetapi jika tidak, pastikan dia tumbuh didalam hatimu. Ada hal yang sangat ingin kamu dengar tetapi tidak akan pernah kamu dengar dari orang yang dari mereka kamu ingin dengar. Tetapi jangan sampai kamu menjadi tuli walaupun kamu tidak mendengar itu dari seseorang yang mengatakan itu dari hatinya. Jangan pernah berkata selamat tinggal jika kamu masih ingin mencoba. Jangan menyerah selama kamu merasa masih dapat maju. Jangan pernah berkata kamu tidak mencintai orang itu lagi bila kamu tidak bisa membiarkannya pergi.Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya. Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali kepercayaan. Hanya perlu satu menit untuk menghancurkan seseorang, satu jam untuk menyukai seseorang, satu hari untuk mencintai seseorang, tetapi membutuhkan seumur hidup untuk melupakan seseorang. Jangan melihat dari wajah, itu bisa menipu. Jangan melihat kekayaan, itu bisa menghilang. Datanglah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum karena sebuah senyuman dapat membuat hari yang gelap menjadi cerah. Berharaplah kamu dapat menemukan seseorang yang dapat membuatmu tersenyum. Ada saat di dalam kehidupanmu dimana kamu sangat merindukan seseorang, kamu ingin mengambil mereka dari mimpimu dan benar-benar memeluk dia. Berharaplah bahwa kamu dapat bermimpi tentang dia, yang berarti mimpilah apa yang ingin kamu mimpikan, pergilah kemana kamu ingin pergi, jadilah sesuai dengan keinginan kamu, karena kamu hanya hidup sekali dan satu kesempatan untuk melakukan apa yang kamu inginkan. Semoga kamu mendapat cukup kebahagiaan untuk membuat kamu bahagia, cukup cobaan untuk membuat kamu kuat, cukup penderitaan untuk membuat kamu menjadi manusia yang sesungguhnya, dan cukup harapan untuk membuat kamu bahagia. Selalu letakkan dirimu pada posisi orang lain. Jika kamu merasa bahwa itu menyakitkan kamu, mungkin itu menyakitkan orang itu juga. Kata-kata yang ceroboh dapat mengakibatkan perselisihan, kata-kata yang kasar bisa membuat celaka, kata-kata yang tepat waktu dapat mengurangi ketegangan, kata-kata cinta dapat menyembuhkan dan menyenangkan. Permulaan cinta adalah dengan membiarkan orang yang kita cintai menjadi dirinya sendiri dan tidak membentuk mereka menjadi sesuai keinginan kita. Dengan kata lain kita mencintai bayangan kita yang ada pada diri mereka. Orang yang bahagia tidak perlu memiliki yang terbaik dari segala hal. Mereka hanya membuat menjadi baik segala hal yang datang dalam hidup mereka. Kebahagiaan adalah bohong bagi mereka yang menangis, mereka yang terluka, mereka yang mencari, mereka yang mencoba. Mereka hanya bisa menghargai orang-orang yang penting yang telah menyentuh hidup mereka. Cinta mulai dengan senyuman, tumbuh dengan ciuman, dan berakhir dengan air mata. Masa depan yang cerah berdasarkan pada masa lalu yang telah dilupakan. Kamu tidak dapat melangkah dengan baik dalam kehidupan kamu sampai kamu melupakan kegagalan kamu dan rasa sakit hati. Ketika kamu lahir, kamu menangis dan semua orang di sekeliling kamu tersenyum. Hiduplah dengan hidupmu, jadi ketika kamu meninggal, kamu satu-satunya yang tersenyum dan semua orang di sekeliling kamu menangis.

Sunday 22 September 2013

Sudut Pak Cah : Kecewa adalah Tanda Cinta

Posted by pak cah on November 30, 2010 Oleh : Cahyadi Takariawan “Orang-orang partai politik itu mudah kecewa. Begitu keinginannya tidak terpenuhi, lalu keluar dari partainya dan membuat partai baru”, kata seorang teman kuliah di Lemhannas berapi-api. Aku hanya mengatakan, “Tergantung partainya, dan tergantung orangnya”. Dia terus saja mengomel tentang jeleknya orang-orang parpol, dan jawabanku pun tetap sama. Ini soal perasaan kecewa. Sesungguhnyalah kecewa muncul karena adanya harapan yang tidak kesampaian. Ada harapan yang ditanam, dan ternyata tidak didapatkan dalam kenyataan. Inilah yang menyebabkan muncul kekecewaan. Jarak yang terbentang antara harapan dengan kenyataan itulah ukuran besarnya kekecewaan. Semakin lebar jarak yang terbentang, semakin besar pula kekecewaan. Oleh karena itu, kecewa itu ada di mana-mana, di lingkungan apa saja, di dunia mana saja, selalu ada kecewa. Mari kita mulai dari yang paling kecil dan sederhana. Kadang kita kecewa dengan diri kita sendiri. “Mengapa saya tidak begini, mengapa saya tidak begitu”, adalah contoh kekecewaan yang kita alamatkan kepada keputusan kita sendiri yang telah terjadi. Kita menyesal di kemudian hari. Dalam kehidupan rumah tangga yang isinya hanya dua orang saja, yaitu suami dan isteri, bisa muncul kekecewaan. Suami kecewa kepada isteri, dan isteri kecewa kepada suami. Hidup berdua saja bisa menimbulkan kecewa, apalagi kehidupan organisasi atau negara. Jika di dalam rumah tangga mulai ada anak-anak, kekecewaan bisa bertambah luas. Anak kecewa dengan sikap orang tuanya, dan orang tua kecewa dengan kelakuan anaknya. Satu anak dengan anak lainnya juga bisa saling kecewa mengecewakan. Satu keluarga bisa kecewa atas perbuatan keluarga lainnya dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Satu desa bisa kecewa dengan desa lainnya dalam satu kecamatan. Indonesia sangat kecewa dengan sikap Amerika yang arogan, kecewa dengan sikap Israel yang merampas hak warga sipil Palestina secara semena-mena. Sebagaimana Amerika kecewa dengan Indonesia karena kurang akomodatif dengan kebijakan Amerika. Israel kecewa dengan Indonesia karena tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Jamaah sebuah masjid bisa kecewa dengan sikap imam masjid, sebagaimana imam masjid bisa kecewa dengan kondisi jamaah. Masyarakat gereja bisa kecewa terhadap pendeta sebagaimana pendeta bisa kecewa terhadap keadaan jemaatnya. Suporter sepak bola sering kecewa terhadap tim yang dibelanya, sebagaimana pemain sepak bola sering kecewa kepada sikap para suporter. TNI bisa kecewa terhadap kebijakan dan sikap Polri sebagaimana Polri bisa kecewa terhadap TNI. Angkatan Darat bisa kecewa terhadap Angkatan Laut dan Udara, sebagaimana Angkatan Laut bisa kecewa terhadap Angkatan Darat dan Udara, atau Angkatan Udara kecewa terhadap Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Di Angkatan Darat, seorang komandan bisa kecewa terhadap anak buahnya, sebagaimana anak buah bisa kecewa kepada komandannya. Dalam gerakan dakwah, seorang kader bisa kecewa kepada pemimpin, sebagaimana pemimpin bisa kecewa atas sikap para kader. Seorang kader PKS menyampaikan pesan lewat SMS kepada saya, yang isinya mengatakan sangat kecewa dengan PKS dan akan keluar serta bergabung dengan sebuah gerakan dakwah tertentu, sebut saja gerakan G. Saya menjawab dengan dua kali jawaban. Pertama, bahwa hak masuk dan keluar dari PKS adalah di tangan anda sendiri, tak ada yang boleh memaksa. Kedua, kalau anda keluar dari PKS karena kecewa dan akan bergabung dengan gerakan dakwah G, maka ketahuilah bahwa gerakan G itu juga pernah mengecewakan anggotanya. Ada banyak orang kecewa dari gerakan G dan berpindah ke gerakan yang lainnya. Di setiap gerakan dakwah, selalu ada orang yang kecewa dan meninggalkan gerakan dakwah itu. Selalu. Sepanjang sejarah kemanusiaan paska masa kenabian, tidak ada satupun organisasi yang tidak pernah mengecewakan anggotanya. Semua organisasi, semua gerakan, semua harakah pernah mengecewakan anggotanya. Selalu ada anggota organisasi atau anggota gerakan yang kecewa dan terluka. Selalu. Ini bukan soal benar atau salahnya kondisi tersebut. Ini hanya potret sesungguhnya, begitulah kenyataan yang ada. Cobalah sebut satu saja contoh organisasi, ormas, gerakan dakwah, instansi, atau apapun. Pasti ada riwayat pernah ada anggota atau pengurus yang kecewa. Kalau tidak ada yang pernah dikecewakan, berarti organisasi tersebut belum pernah beraktiviktas nyata. Bahkan organisasi yang dibuat dari kumpulan orang kecewa, pasti pernah mengecewakan anggotanya pula. Misalnya sekelompok orang kecewa dengan kebijakan organisasi A, lalu mereka menyingkir dan berkumpul. Mereka bersepakat, “Kita berkumpul di sini karena dikecewakan para pemimpin kita. Sekarang kita himpun potensi kita, dan kita berjanji untuk tidak saling mengcewakan lagi. Jangan ada yang dikecewakan disini”. Tatkala mereka sudah eksis sebagai organisasi, maka pasti ada yang kecewa di antara mereka. Mereka tidak tahu, bahwa kecewa itu tanda cinta. Kalau tidak cinta, tidak mungkin kecewa. Karena cinta, maka muncullah berbagai harapan kita. Setelah harapan tertanam, ternyata apa yang kita lihat dan kita alami tidak seperti yang diharapkan. Maka muncullah kecewa. Mengapa beberapa orang parpol yang kecewa lalu membuat parpol baru lagi ? Karena boleh menurut Undang-undang. Coba kalau Undang-undang membolehkan membuat TNI baru, atau Polri baru, atau Mahkamah Agung baru, atau DPR baru, pasti sudah banyak orang membuat dari dulu. Banyak orang kecewa dengan TNI, banyak orang kecewa dengan Polri, banyak orang kecewa dengan Mahkamah Agung, banyak orang kecewa dengan DPR, banyak orang kecewa dengan Presiden dan Wakil Presiden, banyak orang kecewa dengan Menteri, banyak orang kecewa dengan Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa, Ketua RW atau Ketua RT. Jadi, kecewa itu ada dimana-mana, karena cinta ada dimana-mana, karena harapan ada dimana-mana. Namun muncul pertanyaan, pantaskah kita tidak berani memiliki harapan karena takut dikecewakan ? Jawabannya jelas, tidak pantas ! Karena harapan itulah yang membuat kita bersemangat, karena harapan itulah yang membuat kita bekerja, karena harapan itulah yang membuat kita selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, bahkan karena harapan itu pula yang membuat kita ada. Jangan takut memiliki harapan masuk surga. Jangan takut memiliki harapan Indonesia yang makmur dan sejahtera. Jangan takut memiliki harapan Indonesia menjadi negara paling adil dan paling maju di seluruh dunia. So, teruslah memiliki dan memupuk harapan. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Jangan takut kecewa. Pancoran Barat 30 Nopember 2010

Perdalam Samudera Keikhlasanmu

Posted by pak cah on August 25, 2010 Oleh : Cahyadi Takariawan Ini termasuk pesan yang sangat ingin aku sampaikan: perdalam samudera keikhlasanmu. Realitas lapangan dakwah mengajarkan hal penting kepada kita, bahwa daya tahan di dalam mengarungi perjuangan sangat ditentukan oleh sebesar apa penjagaan keikhlasan dalam diri kita. Sangat banyak kejadian dan kondisi jalan dakwah yang bisa mengganggu kaikhlasan. Sesiapapun akan diuji keikhlasannya di jalan ini: yang “berhasil” menjadi pejabat publik, yang “tidak berhasil” menjadi pejabat publik, yang “tidak pernah” menjadi pejabat publik, yang “selalu” menjadi pejabat publik….. Semua dari kita diuji. Yang menjadi caleg, yang menjadi aleg, yang menjadi aktivis mahasiswa, yang menjadi aktivis sosial, yang menjadi ibu rumah tangga, yang menjadi murabbi, yang menjadi pengurus partai, yang menjadi petani….. Semuanya, ya semuanya selalu dihadapkan kepada ujian yang kadang bisa mengganggu keikhlasan. Perasaan Berjasa: Ini Hasil Kerja Saya ! Ketika dakwah menunjukkan hasil-hasil dan prestasi yang menggembirakan, wajar jika muncul perasaan kebanggaan pada pelakunya. Ini perasaan yang sangat manusiawi. Namun perasaan ini jangan dibiarkan berkembang menjadi klaim atas usaha pribadi dan meremehkan kerja orang lain. Karena dalam setiap keberhasilan dakwah, pasti akan dijumpai peran semua pihak dalam mencapai keberhasilan tersebut, sekecil atau sebesar apapun. “Kalian tahu, siapa yang telah melakukan perubahan spektakuler, sehingga tercipta hasil yang sangat menakjubkan ini? Tidak ada lain yang bisa melakukannya, kecuali saya. Semua saya kerjakan sendiri”, pernyataan ini sangat mungkin benar sesuai realitas yang ada. Namun ungkapan ini bisa menjadi awal dari munculnya kesombongan, apabila merasa bahwa kehebatan dirinya tidak ada yang menandingi, dan meremehkan peran orang lain. “Payah benar kader di sini. Tidak ada yang mau bekerja. Kalau saja saya tidak bergerak, Pemilu kemarin hasilnya tidak akan sebagus ini”. “Kemenangan Pilkada di daerah ini adalah hasil kerja keras dan jerih payah saya. Pengorbanan yang saya berikan telah membuahkan hasil berupa kemenangan gemilang. Jika saya tidak terlibat, saya tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi”. “Organisasi dakwah ini menjadi besar dan berkembang pesat, karena usaha yang saya lakukan. Kader-kader lain tidak memiliki peran dan keterlibatan, sehingga terpaksa saya bekerja sendiri. Alhamdulillah hasilnya signifikan”. Masyaallah. Benarkah kita bisa bekerja sendiri ? Dalam sistem amal jama’i yang dibangun organisasi dakwah, seluruh bagian akan saling berkait, berhubungan dan mempengaruhi. Kita tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh bagian lain yang ada dalam mesin amal jama’i ini. Ibarat mesin mobil, semua komponen saling berpengaruh dan berhubungan. Laju mobil merupakan hasil kerja simultan seluruh bagian. Bisa jadi memang ada bagian atau komponen dalam organisasi dakwah yang senyatanya menjadi beban bagi yang lainnya. Namun itu tidak memberikan makna bahwa semua orang menjadi beban, dan hanya seseorang atau segelintir orang saja yang punya peran. Bisa jadi memang ada kader yang pasif dan tidak banyak kontribusi, namun itu bukan berarti semua kader memiliki kondisi kelemahan serupa. Seakan-akan kontribusi hanya menjadi milik seseorang atau segelintir orang yang sangat hebat dalam organisasi dakwah. Lalu dimana letak ikhlas itu ? Kalau kita merasa memiliki banyak peran, banyak kontribusi, banyak keberhasilan, banyak capaian, kemudian mengecilkan bahkan meniadakan peran yang lain, dimana ikhlas itu ? Perasaan Melempar: Siapa Yang Salah ? Ketika dakwah mencapai kemenangan tidak layak ketika ada pihak yang merasa berjasa sendirian. Sebagaimana pada saat dakwah tidak berhasil mencapai target kemenangan, sangat tidak etis jika muncul suasana saling menyalahkan. Masing-masing pihak merasa tidak bertanggung jawab dan melempar kesalahan kepada pihak lainnya. ”Kita kalah dalam Pemilu gara-gara departemen Fulan yang tidak bekerja. Mereka bersantai-santai saat kita bekerja keras, akhirnya mengacaukan semua target”. ”Target tidak berhasil kita capai karena kelemahan bidang Anu. Pengurus bidang Anu tidak becus mengurus programnya sehingga membuat semua bagian ikut berantakan. Kita sudah bekerja habis-habisan, akhirnya tidak ada gunanya”. ”Kita gagal mencapai target karena kader tidak bersemangat dan tidak mau berkorban. Program sudah bagus, sarana pendukung sudah disiapkan, namun kadernya tidak mau bekerja, maka kita kalah”. ”Kekalahan kita disebabkan tidak tegasnya pimpinan. Para kader sudah sangat bersemangat dan siap bekerja, namun pimpinan tidak memiliki ketegasan sikap, akhirnya semua menjadi kacau”. Betapa mudah melempar kesalahan. Ini salah siapa ? Bukan salah saya, ini salah Fulan, ini salah kader, ini salah pengurus, ini kesalahan Ketua, ini kesalahan bendahara, ini kesalahan sekretaris, ini salah kaderisasi, ini salahnya si Kodok… Bukan, bukan salah saya…. Saya sih tidak punya salah…. Dimana letak keikhlasan kita ?

Tuesday 16 July 2013

Zakat Profesi

Dasar Hukum Zakat Profesi Firman Allah SWT: dan pada harta-harta mereka ada hak untuk oramng miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian (QS. Adz Dzariyat:19) Firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. (QS Al Baqarah 267) Hadist Nabi SAW: Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu (HR. AL Bazar dan Baehaqi) Hasil Profesi Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf(generasi terdahulu), oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khusunya yang berkaitan dengan “zakat”. Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantra mereka (sesuai dengan ketentuan syara’). Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya. Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat. Contoh: Akbar adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bogor, memiliki seorang istri dan 2 orang anak. Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-. Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp.625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 – 625.000) = Rp. 975.000 perbulan. Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00 (lebih dari nishab). Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo. Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan. sumber : Al Faridy, Hasan Rifa’i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republia, 1996

Nishab Zakat

HARTA PETERNAKAN Sapi, Kerbau dan Kuda Nishab kerbau dan kuda disetarakan dengan nishab sapi yaitu 30 ekor. Artinya jika seseorang telah memiliki sapi (kerbau/kuda), maka ia telah terkena wajib zakat. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At Tarmidzi dan Abu Dawud dari Muadz bin Jabbal RA, maka dapat dibuat tabel sbb : Jumlah Ternak(ekor) Zakat 30-39 40-59 60-69 70-79 80-89 1 ekor sapi jantan/betina tabi’(a) 1 ekor sapi betina musinnah (b) 2 ekor sapi tabi’ 1 ekor sapi musinnah dan 1 ekor tabi’ 2 ekor sapi musinnah Keterangan : a. Sapi berumur 1 tahun, masuk tahun ke-2 b. Sapi berumur 2 tahun, masuk tahun ke-3 Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor tabi’. Dan jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor musinnah. Kambing/domba Nishab kambing/domba adalah 40 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 40 ekor kambing/domba maka ia telah terkena wajib zakat. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Anas bin Malik, maka dapat dibuat tabel sbb : Jumlah Ternak(ekor) Zakat 40-120 121-200 201-300 1 ekor kambing (2th) atau domba (1th) 2 ekor kambing/domba 3 ekor kambing/domba Selanjutnya, setiap jumlah itu bertambah 100 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor. Ternak Unggas(ayam,bebek,burung,dll) dan Perikanan Nishab pada ternak unggas dan perikanan tidak diterapkan berdasarkan jumlah (ekor), sebagaimana halnya sapi, dan kambing. Tapi dihitung berdasarkan skala usaha. Nishab ternak unggas dan perikanan adalah setara dengan 20 Dinar (1 Dinar = 4,25 gram emas murni) atau sama dengan 85 gram emas. Artinya bila seorang beternak unggas atau perikanan, dan pada akhir tahun (tutup buku) ia memiliki kekayaan yang berupa modal kerja dan keuntungan lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni, maka ia terkena kewajiban zakat sebesar 2,5 % Contoh : Seorang peternak ayam broiler memelihara 1000 ekor ayam perminggu, pada akhir tahun (tutup buku) terdapat laporan keuangan sbb: 1.Ayam broiler 5600 ekor seharga 2.Uang Kas/Bank setelah pajak 3.Stok pakan dan obat-obatan 4. Piutang (dapat tertagih) Rp 15.000.000Rp 10.000.000 Rp 2.000.000 Rp 4.000.000 Jumlah Rp 31.000.000 5. Utang yang jatuh tempo Rp 5.000.000 Saldo Rp26.000.000 Besar Zakat = 2,5 % x Rp.26.000.000,- = Rp 650.000 Catatan : Kandang dan alat peternakan tidak diperhitungkan sebagai harta yang wajib dizakati. Nishab besarnya 85 gram emas murni, jika @ Rp 25.000,00 maka 85 x Rp 25.000,00 = Rp 2.125.000,00 UntaNishab unta adalah 5 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 5 ekor unta maka ia terkena kewajiban zakat. Selanjtnya zakat itu bertambah, jika jumlah unta yang dimilikinya juga bertambah Berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, maka dapat dibuat tabel sbb: Jumlah(ekor) Zakat 5-9 10-14 15-19 20-24 25-35 36-45 45-60 61-75 76-90 91-120 1 ekor kambing/domba (a) 2 ekor kambing/domba 3 ekor kambing/domba 4 ekor kambing/domba 1 ekor unta bintu Makhad (b) 1 ekor unta bintu Labun (c) 1 ekor unta Hiqah (d) 1 ekor unta Jadz’ah (e) 2 ekor unta bintu Labun (c) 2 ekor unta Hiqah (d) Keterangan: (a) Kambing berumur 2 tahun atau lebih, atau domba berumur satu tahun atau lebih. (b) Unta betina umur 1 tahun, masuk tahun ke-2 (c) Unta betina umur 2 tahun, masuk tahun ke-3 (d) Unta betina umur 3 tahun, masuk tahun ke-4 (e) Unta betina umur 4 tahun, masuk tahun ke-5 Selanjutnya, jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor bintu Labun, dan setiap jumlah itu bertambah 50 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor Hiqah. EMAS DAN PERAK Nishab emas adalah 20 dinar (85 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5 %. Demikian juga segala macam jenis harta yang merupakan harta simpanan dan dapat dikategorikan dalam “emas dan perak”, seperti uang tunai, tabungan, cek, saham, surat berharga ataupun yang lainnya. Maka nishab dan zakatnya sama dengan ketentuan emas dan perak, artinya jika seseorang memiliki bermacam-macam bentuk harta dan jumlah akumulasinya lebih besar atau sama dengan nishab (85 gram emas) maka ia telah terkena wajib zakat (2,5 %). Contoh : Seseorang memiliki simpanan harta sebagai berikut : Tabungan Uang tunai (diluar kebutuhan pokok) Perhiasan emas (berbagai bentuk) Utang yang harus dibayar (jatuh tempo) Rp 5 jutaRp 2 juta 100 gram Rp 1.5 juta Perhiasan emas atau yang lain tidak wajib dizakati kecuali selebihnya dari jumlah maksimal perhiasan yang layak dipakai. Jika layaknya seseorang memakai perhiasan maksimal 60 gram maka yang wajib dizakati hanyalah perhiasan yang selebihnya dari 60 gram. Dengan demikian jumlah harta orang tersebut, sbb : 1.Tabungan2.Uang tunai 3.Perhiasan (10-60) gram @ Rp 25.000 Rp 5.000.000Rp 2.000.000 Rp 1.000.000 Jumlah Rp 8.000.000 Utang Rp 1.500.000 Saldo Rp 6.500.000 Besar zakat = 2,5% x Rp 6.500.000 = Rp 163.500,- Catatan : Perhitungan harta yang wajib dizakati dilakukan setiap tahun pada bulan yang sama. PERNIAGAAN Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 dinar (setara dengan 85gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja danuntung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas (jika pergram Rp 25.000,- = Rp 2.125.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah beragama islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila julahnya lebih dari nishab) Cara menghitung zakat : Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini : Kekayaan dalam bentuk barang Uang tunai Piutang Maka yang dimaksud dengan harta perniagaan yang wajib dizakati adalah yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak. Contoh : Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 1995 dengan keadaan sbb : 1.Mebel belum terjual 5 set2.Uang tunai 3. Piutang Rp 10.000.000Rp 15.000.000 Rp 2.000.000 Jumlah Rp 27.000.000 Utang & Pajak Rp 7.000.000 Saldo Rp 20.000.000 Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,- Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang) Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dll, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2(dua) cara: Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan perusahaan dihitung, termasuk barang (harta) penghasil jasa, seperti hotel, taksi, kapal, dll, kemudian keluarkan zakatnya 2,5 %. Pada Perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil bersih yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun, kemudian zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan zakat hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya hanya didasarkan pada hasil pertaniannya, tidak dihitung harga tanahnya. HASIL PERTANIAN Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut. Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras). Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%. Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairidengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50;50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10). Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya). sumber : Al Faridy, Hasan Rifa’i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republia, 1996

Apa itu Zakat ??

Makna Zakat Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10) Menurut Hukum Islam (istilah syara’), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy) Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah. Penyebutan Zakat dan Infaq dalam Al Qur-an dan As Sunnah Zakat (QS. Al Baqarah : 43) Shadaqah (QS. At Taubah : 104) Haq (QS. Al An’am : 141) Nafaqah (QS. At Taubah : 35) Al ‘Afuw (QS. Al A’raf : 199) Hukum Zakat Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia. Macam-macam Zakat a. Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah. b. Zakat Maal (harta). Syarat-syarat Wajib Zakat a. Muslim b. Aqil c. Baligh d. Memiliki harta yang mencapai nishab sumber : Al Faridy, Hasan Rifa’i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republia, 1996

Seabad tidak ada matahari

REPUBLIKA.CO.ID, RJUKAN, NORWEGIA -- Penduduk di Rjukan, kota kecil industri yang terkenal dan terletak di lembah sempit di Norwegia Tengah, akan memperoleh sinar Matahari di alun-alun kota mulai September. Mereka akan mengucapkan selamat tinggal kepada sejarah lebih dari 100 tahun tak memperoleh sinar Matahari pada musim dingin. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, sinar Matahari akan dipancarkan ke alun-alun di luar balai kota dari tiga cermin yang dipasang pada ketinggian 450 meter di lereng gunung. Pemasangan cermin tersebut, yang dimulai pada 1 Juli 2013, sudah selesai. Pada Senin, para pekerja dan teknisi memberi sentuhan terakhir adap proyek dengan nilai lima juto kroner tersebut. Selama beberapa dasawarsa, warga Rjukan --bagian dari kotapraja Tinn di Kabupaten Telemark-- telah menggunakan kereta kabel di dekat Rjukan, Krossobanen, untuk naik ke puncak gunung dan menikmati sinar Matahari pada musim dingin. Karin Roe, Kepala Kantor Pariwisata Rjukan, mengatakan rakyat di kota kecil itu akan terus menggunakan kereta kabel pada musim dingin kendati berbagai kegiatan di alun-alun diperkirakan akan meningkat. Gagasan untuk membangun cermin raksasa guna memancarkan sinar Matahari ke kota kecil tersebut nyaris sama tuanya dengan kota kecil itu sendiri, demikian laporan Xinhua. Ketika ia mulai membangun kota kecil tersebut pada 1907, Sam Eyde --pendiri bersama raksasa industri Norwegia "Norsk Hydro"-- benar-benar menanamkan gagasan itu di dalam dirinya sehingga para pekerja dapat memiliki sinar Matahari pada musim dingin, kata Rune Loedoeen, pemimpin kota kecil tersebut. "Namun saat itu, kami tak memiliki teknologi tersebut. Jadi, kereta kabel pun dibuat untuk tujuan itu," kata Loedoeen. Setelah lima tahun perdebatan, Dewan Kota pada tahun ini akhirnya mengambil keputusan untuk menanam lima juta kroner Norwegia (823.000 dolar AS) untuk membuat cermin tersebut.

Saturday 6 July 2013

Dukung Islam Ulama Salafi kena tembak di Mesir

Syaikh Ihab Umar; seorang pemimpin Dakwah Salafiyah di ‘Arisy, semenanjung Sinai, ditembak pahanya ketika dalam posisi sujud mengerjakan shalat Ashar di depan kantor gubernur Sinai, pada Jumat 5 Juli 2013. Dalam foto Syaikh tampak sabar dan senyum. Sudah puluhan nyawa melayang dan ratusan terluka dalam demonstrasi damai yang dilakukan para pendukung Mursi. Diduga pelakunya adalah para oknum militer yang tak segan-segan membunuh demonstran, padahal seharusnya cukup dengan hal-hal yang tidak sampai membunuh untuk menghalau demonstran, misalnya gas air mata, atau tembak dgn peluru karet, atau tembak kaki. Sebuah video baru yang muncul menunjukkan kaum Muslim sedang shalat jamaah di jalan di kota Arish, kota terbesar di Semenanjung Sinai, dan mendapat serangan dari penembak tak dikenal.

Marhaban Yaa Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID,Marhaban ya Ramadhan. Selamat datang, wahai Ramadhan. Subhanallah, tidak terasa waktu bergerak begitu cepat. Dalam hitungan hari, kita akan tinggalkan lembayung Sya’ban. Dan, kita akan jejakkan kaki di bulan Ramadhan, bulan yang mengajak kaum Muslimin di berbagai belahan dunia berpuasa selama satu bulan lamanya. “Wahai orang-orang yang beriman. Diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS al-Baqarah 2:183). Dan, Jumat ini mungkin akan menjadi Jumat terakhir di bulan Sya’ban. Kita akan memasuki bulan istimewa yang menyebar banyak kebaikan. Bulan yang ditaburi keberkahan. Bulan yang siang dan malamnya terliputi kemuliaan. Bulan yang di antara salah satu malamnya bernilai lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang pada akhirnya tidak ada alasan buat tangan kita kecuali membentang, seraya lisan berujar, “Marhaban ya Ramadhan!” Allahu akbar. Kenikmatan menyambut Ramadhan ini adalah bagian dari kecintaan tak berperi akan kehadiran bulan rahmat dan ampunan. OIeh karena itu, Nabi Muhammad SAW biasa memberikan kabar gembira kepada para sahabat karena datangnya bulan ini. Beliau menjelaskan keutamaan-keutamaan Ramadhan dan janji-janji indah berupa pahala yang melimpah bagi orang yang berpuasa dan menghidupkannya. Jika Ramadhan adalah sebuah madrasah atau sekolah, sebagai seorang yang mengaku beriman kepada Allah kita akan masuk dan mengikuti semua proses pendidikan di dalamnya. Sebuah unit pendidikan Rabbani yang akan melahirkan para wisudawan terbaik dengan gelar al-Muttaqin, wisudawan bertakwa. Madrasah Ramadhan yang akan kita masuki sesungguhnya menjadi kunci bagi terbukanya sebuah surga khusus di akhirat kelak. Surga yang mempunyai gapura indah yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan, Ar-Royyan. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yg dinamakan Ar-Rayyan. Yang akan masuk melaluinya pada hari kiamat hanyalah orang-orang yang berpuasa. Tidak akan masuk seorang pun melaluinya selain mereka. Lalu diserukan, “Manakah orang-orang yang berpuasa?” Maka, mereka pun berdiri. Tidak ada seorang pun yang akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan ini kecuali mereka. Setelah semua masuk, pintu itu pun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya,” [Muttafaqun ‘Alaih]. Beruntung untuk ikhwah yang selama sebulan penuh bertekad untuk berpuasa dan mengikuti semua proses pendidikan Rabbani melalui universitas Ramadhan yang agung ini. Abdullah bin Ash-Shamit meriwayatkan, ketika Ramadhan datang, Rasulullah bersabda: “Wahai sekalian manusia. Ramadhan, bulan penuh berkah telah datang kepada kalian. Pada bulan ini, Allah melimpahkan (karunia-Nya) kepada kalian. Dia menurunkan rahmat, menghapuskan kesalahan-kesalahan, dan mengabulkan doa. Allah akan melihat perlombaanmu di bulan itu dan akan membanggakanmu di hadapan para malaikat. Maka, tampilkanlah dari diri kalian yang baik-baik. Karena orang yang malang adalah orang yang tidak mendapatkan rahmat Allah pada bulan itu.” (HR Ath-Thabrani)

The real Presiden

Mursi, Presiden Penghafal 30 Juz Alquran Kamis, 04 Juli 2013, 11:21 WIB Komentar : 0 AP Presiden Mesir Muhammad Mursi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Revolusi Mesir awal tahun lalu telah mengantar seorang anak petani menjadi presiden. Ia memang belum lama terpilih sebagai presiden. Namun, seabrek pelajaran berharga sudah bertaburan darinya. Pidato yang ia sampaikan sarat dengan petuah yang patut diteladani oleh pengelola republik ini. Mursi mengajarkan bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap. Ia menempatkan diri bukan sebagai penguasa, melainkan pelayan. Ia menempatkan toleransi di atas segala-galanya. Ia mengubur dalam-dalam perbedaan. Mursi tak hanya dikenal sebagai akademisi yang merampungkan program doktoralnya di University of Southern California. Ia juga sosok sederhana yang religius. Ia menjadi presiden pertama yang hafal Alquran 30 juz. Tak hanya dirinya, istri dan lima anaknya juga hafal 30 juz Alquran. Mursi tercatat sebagai Presiden Mesir pertama yang hafal Alquran. Pria bernama lengkap Mohammed Mursi Issa Ayyat menjadi Presiden ke-5 Mesir yang menjabat sejak 30 Juni 2012. Mursi menjadi Anggota Parlemen di Majelis Rakyat Mesir selama periode 2000-2005 dan seorang tokoh terkemuka di Ikhwanul Muslimin. Sejak 30 April 2011, dia menjabat Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sebuah partai politik yang didirikan oleh Ikhwanul Muslimin setelah Revolusi Mesir 2011. Ia maju sebagai calon presiden dari FJP pada pemilu presiden Mei-Juni 2012. Pada 24 Juni 2012, Komisi Pemilihan Umum Mesir mengumumkan bahwa Mursi memenangkan Pemilu Presiden dengan mengalahkan Ahmed Shafik, Perdana Menteri terakhir di bawah kekuasaan Hosni Mubarak. Komisi Pemilihan menyatakan uorsi memperoleh 51,7 persen suara, sedang Shafiq mendapatkan 48,3 persen. Pria yang pernah merasakan dibalik jeruji ketika pemerintahan Anwar Saddat dan Hosni Mubarak ini dikaruniai 5 orang anak dan 3 orang cucu. Rabu (3/7) malam, Militer Mesir menahan Presiden Mesir yang terpilih secara demokratis itu.

Tuesday 2 July 2013

Kabar Gembira dan Sebuah Bata

Posted on 28/06/2013 Masih hening sukma-sukma dalam renungan atas keagungan doa Ibrahim ‘Alaihis Salam, ketika Sang Nabi, mentari di hati para sahabatnya itu kembali bersabda, “Dan aku adalah kabar gembira yang dibawa oleh ‘Isa ‘Alaihis Salam.” “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab [yang turun] sebelumku, yaitu Taurat. Dan memberi kabar gembira dengan [datangnya] seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad..” (QS Ash Shaff [61]: 6) Memang engkau ya RasulaLlah, adalah kabar gembira. Nubuat tentangmu dikabarkan para Nabi sebelummu dengan berseri-seri penuh kesyukuran. Mereka menyebut Himdah, Periklitos, Bar Nasha, Adonis, Maitreya, dan semua sanjungan tentang risalah yang akan memenuhi ufuk, dari tempat terbit mentari hingga terbenamnya. Engkaulah imam bagi mereka dalam shalat yang ditunaikan di Masjidil Aqsha nan suci, beberapa saat jelang keberangkatanmu bermi’raj ke haribaan Ilahi. Engkaulah yang disambut Adam, Yahya serta ’Isa, Yusuf, Idris, Harun, Musa, dan Ibrahim di tiap lapis langit dengan doa yang mesra. Engkaulah penutup, bagi matarantai terhubungnya bumi dengan langit. Segala keutamaanmu adalah kesempurnaan. Dan kerendahan hatimu pada mereka menjadikan kemuliaan dirimu tak tergapai oleh seorang makhluqpun. Inilah kami menitikkan airmata, saat Imam Al Bukhari membawakan riwayat berisi permisalan yang kaubuat tentang dirimu dengan para Nabi yang memancangkan tapak-tapak Tauhid sebelum engkau dibangkitkan. “Perumpamaan antara aku dengan para Nabi yang diutus sebelumku”, ungkapmu, “Adalah seperti orang yang membangun sebuah rumah lalu membaguskan dan memperindahnya. Hingga tersisa sebuah labinah, ceruk di mana satu batu-bata belum terpasang pada dinding samping rumah tersebut. Maka orang-orang pun mengelilingi dan mengaguminya seraya berkata, ‘Duh, betapa baiknya jika batu-bata terakhir dipasang pada tempatnya agar rumah ini sempurna.” Akulah batu bata terakhir itu. Akulah penutup para Nabi.” Inilah kami, ummatmu yang berbahagia dengan kehadiranmu nan rendah hati. Yang menyebut keakuan hanya sebagai sesudut batu di rumah yang indah. Yang memandang diri cuma bak sebatang bata penggenap sempurnanya sebuah bangunan. “Rabbku mengajariku Adab”, lagi-lagi kau bertawadhu’ bahwa semua kemuliaanmu adalah karuniaNya, seperti tercantum dalam riwayat At Tirmidzi, “Maka Dia membaguskan adab-adabku.” Dan adab da’wahmu adalah kerendahan hati. Sebab kebenaran tak dapat disampaikan oleh insan yang merasa tinggi. Sebab orang benar yang angkuh, akan merusak rasa hormat semesta pada kehakikian itu sendiri. “Dan berilah peringatan pada kaum kerabatmu yang terdekat. Dan rundukkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang mukmin.” (QS Asy Syu’ara [26]: 214-215) Inilah engkau yang menjadi jalan hidayah bagi semesta, rahmat dan cahaya yang menerangi gelap hati, Allah menuntunmu untuk merundukkan diri. Sebab bagi hati yang merunduk tak ada lagi kerendahan tuk jatuh. Sebab dalam hati yang merunduk, terbuncah cinta yang utuh. Sebab atas hati yang merunduk, segala kepongahan akan takluk. Sebab pada hati yang merunduk, cinta manusia mengalir teruntuk. Sebab terhadap hati yang merunduk, semesta akan bertepuk. Tapi segala ketundukan dan kekhusyukan hatimu hanyalah untuk mengundang cintaNya, bukan sorak-sorai manusia. Maka izinkan kami belajar darimu wahai hati yang merunduk. Bahwa jika diri merasa besar, kami harus memeriksa hati. Mungkin ia sedang bengkak. Jika diri merasa suci, kami harus memeriksa jiwa. Mungkin itu putihnya nanah dari luka nurani. Jika diri merasa tinggi, kami harus memeriksa batin. Mungkin ia sedang melayang kehilangan pijakan. Dan jika diri merasa wangi, kami harus memeriksa niat. Mungkin itu asap dari ‘amal shalih yang hangus dibakar riya’. Shalawat dan salam bagimu duhai Nabi yang rendah hati; yang terpuji di langit dan bumi. sepenuh cinta {termuat dalam UMMI, Juli} salim a. fillah

Amal Baik Jangan Ditunda-tunda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : H. Moch. Hisyam Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Lalu, beliau menjawab, “Bersedekah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta), takut miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan janganlah kamu menunda-nunda, sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu baru berkata, “Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian’, padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Salah satu pelajaran yang terkandung dalam hadis yang diriwayat dari Abu Hurairah di atas, menganjurkan kepada kita untuk bersegera bersedekah dan melakukan amal-amal baik lainnya. Tegasnya, berbuat baik jangan ditunda-tunda. Harus segera dilaksanakan. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 148, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “Perlahan-lahan dalam segala sesuatu itu baik, kecuali dalam perbuatan yang berkenaan dengan akhirat.” (H.R. Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim). Bila kita menunda-nunda amal kebaikan bisa menjadikan amal baik yang akan kita lakukan itu tidak terlaksana. Itu karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput diri kita. Boleh jadi karena menunda-nunda amal ajal keburu menjemput diri kita sehingga kita tidak sempat melakukan amal baik yang telah kita niatkan. Selain itu, bila kita menunda-nunda amal baik bisa menyebabkan niat kita menjadi berubah karena ketika kita menunda-nunda berbuat baik, sama dengan membuka kesempatan pada hawa nafsu dan kepada syetan untuk mengganggu dan menggoda diri kita untuk tidak melakukan kebaikan karena hawa nafsu dan setan senantiasa mengajak kepada keburukan dan menghalangi untuk berbuat kebaikan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yusuf (12) : 53). Dalam ayat lain, “Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Q.S. Az-Zukhruf (43) : 37). Untuk itu, bila kita mempunyai niat untuk melakukan kebaikan hendaknya bersegera melakukannya agar kita segera memperoleh kebaikan dan sebagai upaya kita untuk menyempurnakan kebaikan yang kita lakukan. Di dalam atsar Abdullah Ibnu Abbas R.A dikatakan, “Tidak sempurna kebaikan kecuali dengan menyegerakannya karena jika disegerakan, hal itu akan lebih menyenangkan pihak yang berkepentingan.” Akhirnya, mari kita renungi sebuah kisah sebagai ibrah dan mauizdah bagi kita untuk menyegerakan setiap kebaikan yang telah kita niatkan. Dikisahkan, “Seorang saleh yang sedang berada di kamar mandi, pernah memanggil budaknya dan menyuruhnya untuk memberikan sedekah kepada seseorang. Maka, budak itu berkata kepadanya, “Mengapa tuan tidak bersabar dulu, hingga tuan keluar dari kamar mandi?” Dia menjawab, “Saya mempunyai niat untuk berbuat baik dan saya takut niat itu berubah. Oleh karena itu, begitu mempunyai niat, saya segera mengikutinya dan melaksanakannya.” Wallahu’alam

Inilah Sedekah yang Paling Besar Pahalanya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Moch Hisyam Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Lalu, beliau menjawab, “Bersedekah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta), takut miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan, janganlah kamu menunda-nunda sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu baru berkata, 'Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian', padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya).” (HR Bukhari dan Muslim). Salah satu pelajaran yang terkandung dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah di atas adalah anjuran kepada kita untuk bersegera bersedekah dan melakukan amal-amal baik lainnya. Tegasnya, berbuat baik itu jangan ditunda-tunda, harus segera dilaksanakan. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2) ayat 148, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “Perlahan-lahan dalam segala sesuatu itu baik, kecuali dalam perbuatan yang berkenaan dengan akhirat.” (HR Abu Dawud, Baihaqi, dan Hakim). Bila kita menunda-nunda amal kebaikan bisa menjadikan amal baik yang akan kita lakukan itu tidak terlaksana. Itu karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput diri kita. Boleh jadi karena menunda-nunda amal, ajal keburu menjemput diri kita sehingga kita tidak sempat melakukan amal baik yang telah kita niatkan. Selain itu, bila kita menunda-nunda amal baik bisa menyebabkan niat kita menjadi berubah karena ketika kita menunda-nunda berbuat baik sama dengan membuka kesempatan pada hawa nafsu dan setan untuk mengganggu dan menggoda diri kita. Karena, hawa nafsu dan setan senantiasa mengajak kepada keburukan dan menghalangi kita berbuat kebaikan. Allah berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya, Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yusuf [12] : 53). Dalam ayat lain disebutkan, “Dan, sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS Az-Zukhruf [43] : 37). Untuk itu, bila kita mempunyai niat berbuat kebaikan hendaknya bersegera melakukannya agar kita segera memperoleh kebaikan dan sebagai upaya kita menyempurnakan kebaikan yang kita lakukan. Di dalam atsar Abdullah Ibnu Abbas, dikatakan, “Tidak sempurna kebaikan kecuali dengan menyegerakannya karena jika disegerakan hal itu akan lebih menyenangkan pihak yang berkepentingan.” Akhirnya, mari kita renungi sebuah kisah sebagai ibrah dan mauizdah bagi kita untuk menyegerakan setiap kebaikan yang telah kita niatkan. Dikisahkan, “Seorang saleh yang sedang berada di kamar mandi pernah memanggil budaknya dan menyuruhnya untuk memberikan sedekah kepada seseorang. Maka, budak itu berkata kepadanya, 'Mengapa tuan tidak bersabar dulu, hingga tuan keluar dari kamar mandi?' Dia menjawab, 'Saya mempunyai niat untuk berbuat baik dan saya takut niat itu berubah. Oleh karena itu, begitu mempunyai niat, saya segera mengikutinya dan melaksanakannya.'” Wallahu'alam.

Friday 31 May 2013

Pojok Salim A Fillah : Yang K Tahu Allah selalu Bersamaku

Yang Aku Tahu; Allah Bersamaku Posted on 23/02/2012 aku percaya maka aku akan melihat keajaiban iman adalah mata yang terbuka mendahului datangnya cahaya “Aku”. Jawaban Musa itu terkesan tak tawadhu’. Ketika seorang di antara Bani Israil bertanya siapakah yang paling ‘alim di muka bumi, Musa menjawab, “Aku”. Tapi oleh sebab jawaban inilah di Surat Al Kahfi membentang 23 ayat, mengisahkan pelajaran yang harus dijalani Musa kemudian. Uniknya di dalam senarai ayat-ayat itu terselip satu lagi kalimat Musa yang tak tawadhu’. “Kau akan mendapatiku, insyaallah, sebagai seorang yang sabar.” Ini ada di ayat yang keenampuluh sembilan. Di mana letak angkuhnya? Bandingkan struktur bahasa Musa, begitu para musfassir mencatat, dengan kalimat Isma’il putra Nabi Ibrahim. Saat mengungkapkan pendapatnya pada sang ayah jikakah dia akan disembelih, Isma’il berkata, “Engkau akan mendapatiku, insyaallah, termasuk orang-orang yang sabar.” Tampak bahwa Isma’il memandang dirinya sebagai bagian kecil dari orang-orang yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama pribadinya. Dan sayangnya lagi, dalam kisahnya di Surat Al Kahfi, ia tak sesabar itu. Musa kesulitan untuk bersabar seperti yang ia janjikan. Sekira duapuluh abad kemudian, dalam rekaman Al Bukhari dan Muslim, Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang kisah perjalanan itu, “Andai Musa lebih bersabar, mungkin kita akan mendapat lebih banyak pelajaran.” ​Wallaahu A’lam. Mungkin memang seharusnya begitulah karakter Musa, ‘Alaihis Salaam. Kurang tawadhu’ dan tak begitu penyabar. Sebab, yang dihadapinya adalah orang yang paling angkuh dan menindas di muka bumi. Bahkan mungkin sepanjang sejarah. Namanya Fir’aun. Sangat tidak sesuai menghadapi orang seperti Fir’aun dengan kerendahan hati dan kesabaran selautan. Maka Musa adalah Musa. Seorang yang Allah pilih untuk menjadi utusannya bagi Fir’aun yang sombong berlimpah justa. Dan sekaligus, memimpin Bani Israil yang keras kepala. ​Hari itu, setelah ucapannya yang jumawa, Musa menerima perintah untuk berjalan mencari titik pertemuan dua lautan. Musa berangkat dikawani Yusya ibn Nun yang kelak menggantikannya memimpin trah Ya’qub. Suatu waktu, Yusya melihat lauk ikan yang mereka kemas dalam bekal meloncat mencari jalan kembali ke lautan. Awalnya, Yusya lupa memberitahu Musa. Mereka baru kembali ke tempat itu setelah Musa menanyakan bekal akibat deraan letih dan lapar yang menggeliang dalam usus. ​Di sanalah mereka bertemu dengan seseorang yang Allah sebut sebagai, “Hamba di antara hamba-hamba Kami yang kamu anugerahi rahmat dari arsa Kami, dan Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Padanyalah Musa berguru. Memohon diajar sebagian dari apa yang telah Allah fahamkan kepada Sang Guru. Nama Sang Guru tak pernah tersebut dalam Al Quran. Dari hadits dan tafsir lah kita berkenalan dengan Khidzir. ​Kita telah akrab dengan kisah ini. Ada kontrak belajar di antara keduanya. “Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar. Dan aku takkan mendurhakaimu dalam perkara apapun!”, janji Musa. “Jangan kau bertanya sebelum dijelaskan kepadamu”, pesan Khidzir. Dan dalam perjalanan menyejarah itu, Musa tak mampu menahan derasnya tanya dan keberatan atas tiga perilaku Khidzir. Perusakan perahu, pembunuhan seorang pemuda, dan penolakan atas permohonan jamuan yang berakhir dengan kerja berat menegakkan dinding yang nyaris rubuh. Tanpa minta imbalan. ​Alhamdulillah, kita belajar banyak dari kisah-kisah itu. Kita belajar bahwa dalam hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih. Seperti para nelayan pemilik kapal. Kapal yang bagus akan direbut raja zhalim. Tapi sedikit cacat justru menyelamatkannya. Sesuatu yang ‘sempurna’ terkadang mengundang bahaya. Justru saat tak utuh, suatu milik tetap bisa kita rengkuh. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh.. Apa yang tak bisa didapatkan sepenuhnya, jangan ditinggalkan semuanya.” Kita juga belajar bahwa ‘membunuh’ bibit kerusakan ketika dia baru berkecambah adalah pilihan bijaksana. Dalam beberapa hal seringkali ada manfaat diraih sekaligus kerusakan yang meniscaya. Padanya, sebuah tindakan didahulukan untuk mencegah bahaya. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih.. Mencegah kerusakan didahulukan atas meraih kemashlahatan.” Dan dari Khidzir kita belajar untuk ikhlas. Untuk tak selalu menghubungkan kebaikan yang kita lakukan, dengan hajat-hajat diri yang sifatnya sesaat. Untuk selalu mengingat urusan kita dengan Allah, dan biarkanlah tiap diri bertanggungjawab padaNya. Selalu kita ingat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sultan yang dimakan fitnah memenjarakan dan menyiksanya. Tapi ketika bayang-bayang kehancuran menderak dari Timur, justru Ibnu Taimiyah yang dipanggil Sultan untuk maju memimpin ke garis depan. Berdarah-darah ia hadapi air bah serbuan Tartar yang bagai awan gelap mendahului fajar hendak menyapu Damaskus. Ketika musuh terhalau, penjara kota dan siksa menantinya kembali. Saat ditanya mengapa rela, ia berkata, “Adapun urusanku adalah berjihad untuk kehormatan agama Allah serta kaum muslimin. Dan kezhaliman Sultan adalah urusannya dengan Allah.” Iman dan Keajaiban yang Mengejutkan ​Subhanallah, alangkah lebih banyak lagi ‘ibrah yang bisa digali dari kisah Musa dan Khidzir. Berlapis-lapis. Ratusan. Lebih. Tapi mari sejenak berhenti di sini. Mari picingkan mata hati ke arah kisah. Mari seksamai cerita ini dari langkah tertatih kita di jalan cinta para pejuang. Mari bertanya pada jiwa, di jalan cinta para pejuang siapakah yang lebih dekat ke hati untuk diteladani? Musa. Bukan gurunya. Ya. Karena di akhir kisah Sang Guru mengaku, “Wa maa fa’altuhuu min amrii.. Apa yang aku lakukan bukanlah perkaraku, bukanlah keinginanku.” Khidzir ‘hanyalah’ guru yang dihadirkan Allah untuk Musa di penggal kecil kehidupannya. Kepada Khidzir, Allah berikan semua pemahaman secara utuh dan lengkap tentang jalinan pelajaran yang harus ia uraikan pada Rasul agung pilihanNya, Musa ‘Alaihis Salaam. Begitu lengkapnya petunjuk operasional dalam tiap tindakan Khidzir itu menjadikannya sekedar sebagai ‘operator lapangan’ yang mirip malaikat. Segala yang ia lakukan bukanlah perkaranya. Bukan keinginannya. Beberapa orang yang menyebut diri Sufi mengklaim, inilah Khidzir yang lebih utama daripada Musa. Khidzir menguasai ilmu hakikat sedang Musa baru sampai di taraf syari’at. Maka seorang yang telah disingkapkan baginya hakikat, seperti Khidzir, terbebas dari aturan-aturan syari’at. Apa yang terlintas di hati menjadi sumber hukum yang dengannya mereka menghalalkan dan mengharamkan. Ia boleh merusak milik orang. Ia boleh membunuh. Ia melakukan hal-hal yang dalam tafsir orang awwam menyimpang, dan dalam pandangan syari’at merupakan sebuah pelanggaran berat. Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Barii, membantah tofsar-tafsir ini. Pertama, tidak ada tindakan Khidzir yang menyalahi syari’at. Telah kita baca awal-awal bahwa semua tindakannya pun kelak bersesuaian dengan kaidah fiqh. Bahkan dalam soal membunuh pun, Khidzir tidak melanggar syari’at karena ia diberi ilmu oleh Allah untuk mencegah kemunkaran dengan tangannya. Alangkah jauh tugas mulia Khidzir dengan apa yang dilakukan para Sufi nyleneh semisal meminum khamr, lalu pengikutnya berkata, “Begitu masuk mulut, khamr-nya berubah menjadi air!” Tidak sama! Kedua, setinggi-tinggi derajat Khidzir menurut jumhur ‘ulama adalah Nabi di antara Nabi-nabi Bani Israil. Sementara Musa adalah Naqib-nya para Naqib, Nabi terbesar yang ditunjuk memimpin Bani Israil, seorang Rasul yang berbicara langsung dengan Allah, mengemban risalah Taurat, dan bahkan masuk dalam jajaran istimewa Rasul Ulul ‘Azmi bersama Nuh, Ibrahim, ‘Isa, dan Muhammad. Maka Musa jauh lebih utama daripada Khidzir. “Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu.” (Al A’raaf 144) Ketiga, Allah memerintahkan kita meneladani para Rasul yang kisah mereka dalam Al Quran ditujukan untuk menguatkan jiwa kita dalam meniti jalan cinta para pejuang. Para Rasul itu, utamanya Rasul-rasul Ulul ‘Azmi menjadi mungkin kita teladani karena mereka memiliki sifat-sifat manusiawi. Mereka tak seperti malaikat. Juga bukan manusia setengah dewa. Mereka bertindak melakukan tugas-tugas yang luar biasa beratnya dalam keterbatasannya sebagai seorang manusia. Justru keagungan para Rasul itu terletak pada kemampuan mereka menyikapi perintah yang belum tersingkap hikmahnya dengan iman. Dengan iman. Dengan iman. Berbeda dengan Khidzir yang diberitahu skenario dari awal hingga akhir atas apa yang harus dia lakukan –ketika mengajar Musa-, para Rasul seringkali tak tahu apa yang akan mereka hadapi atau terima sesudah perintah dijalani. Mereka tak pernah tahu apa yang menanti di hadapan. Yang mereka tahu hanyalah, bahwa Allah bersama mereka. Nuh yang bersipayah membuat kapal di puncak bukit tentu saja harus menahan geram ketika dia ditertawai, diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Tetapi, sesudah hampir 500 tahun mengemban risalah dengan pengikut yang nyaris tak bertambah, Nuh berkata dengan bijak, dengan cinta, “Kelak kami akan menertawai kalian sebagaimana kalian kini menertawai kami.” Ya. Nuh belum tahu bahwa kemudian banjir akan tumpah. Tercurah dari celah langit, terpancar dari rekah bumi. Air meluap dari tungkunya orang membuat roti dan mengepung setinggi gunung. Nuh belum tahu. Yang ia tahu adalah ia diperintahkan membina kapalnya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam.. Ibrahim yang bermimpi, dia juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia benar-benar menyembelih putera tercinta. Anak itu, yang lama dirindukannya, yang dia nanti dengan harap dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan untuk dipisahkan dari dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisah dengan ditinggal di lembah Bakkah yang tak bertanaman, tak berhewan, tak bertuan. Kini Isma’il harus dibunuh. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri. Dibaringkanlah sang putera yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup membuka mata ketika harus mengayau leher sang putera dengan pisau? Ayah mana yang sanggup mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya sambil tetap menatap wajah? Tidak. Ibrahim terpejam. Dan ia melakukannya! Ia melakukannya meski belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang korban. Yang diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam.. Musa juga menemui jalan buntu, terantuk Laut Merah dalam kejaran Fir’aun. Bani Israil yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul! Kita pasti tersusul!”, kata mereka. “Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya Rabbku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Petunjuk itupun datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke laut. Nalar tanpa iman berkata, “Apa gunanya? Lebih baik dipukulkan ke kepala Fir’aun!” Ya, bahkan Musa pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian. Yang dia tahu Allah bersamanya. Dan itu cukup baginya. ‘Alaihis Salaam.. Merekalah para guru sejati. Yang kisahnya membuat punggung kita tegak, dada kita lapang, dan hati berseri-seri. Yang keteguhannya memancar menerangi. Yang keagungannya lahir dari iman yang kukuh, bergerun mengatasi gejolak hati dan nafsu diri. Di jalan cinta para pejuang, iman melahirkan keajaiban. Lalu keajaiban menguatkan iman. Semua itu terasa lebih indah karena terjadi dalam kejutan-kejutan. Yang kita tahu hanyalah, “Allah bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Nuh belum tahu bahwa banjir nantinya tumpah ketika di gunung ia menggalang kapal dan ditertawai Ibrahim belum tahu bahwa akan tercawis domba ketika pisau nyaris memapas buah hatinya Musa belum tahu bahwa lautan kan terbelah saat ia diperintah memukulkan tongkat di Badar Muhammad berdoa, bahunya terguncang isak “Andai pasukan ini kalah, Kau takkan lagi disembah!” dan kitapun belajar, alangkah agungnya iman

Pojok Salim A fillah : Kenangan Cinta

Sebuah Kenangan Atas Cinta Posted on 02/04/2012 Tiap pahlawan punya kisahnya sendiri. Di perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rasulullah dan tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah berdoa sambil menggigit bibir. “Rabbii”, begitu lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhaa. Ya Allah, ambil darahku hari ini sekehendakMu hingga Engkau ridha.” Tombak, pedang, dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas. “Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada Thalhah”. Dan Thalhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah. Tetapi tiap pahlawan punya kisahnya sendiri. Satu hari ia berbincang dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Thalhah memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.” Satu saat dibisikannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.” Gumam hati dan ucapan Thalhah disambut wahyu. Allah menurunkan firmanNya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluhtiga surat Al Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.” Ketika ayat itu dibacakan padanya, Thalhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Allah, dan menunaikan umrah dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Thalhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai Thalhah. Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri. Sesudah wafatnya ‘Utsman ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Thalhah bersama Zubair ibn Al ‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Thalib untuk menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Thalib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya terbatas. Thalhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di tengah kedua kubu. Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Thalhah dan Az Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rasulullah berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu. Dan seolah tak ada jalan selain itu. Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari Thalhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?” Thalhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar. ‘Ali menepuk bahu Thalhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Thalhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.” ‘Ali meraba reaksi Thalhah. Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?” Thalhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Thalhah, bersama Az Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Thalib dengan duka yang begitu dalam, sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya. Seusai pemakaman, ‘Ali menimang putra Thalhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia berbisik. “Nak,’ kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan oleh Allah di Surat Al Hijr ayat keempatpuluh tujuh; “Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.” sepenuh cinta, Salim A. Fillah

Sudut Pak Cah : siti, dina ,dan Umi

Hari Rabu (05/12/2012) saat berlangsung acara Nadwah bersama ustadz Abu Ridha di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyakarta, seorang akhwat bertanya melalui selembar kertas. Pertanyaan sesungguhnya ditujukan kepada ustadz Abu Ridha, namun karena saya selaku moderator Nadwah merasa telah memiliki jawaban, maka saya sampaikan agar para peserta yang ingin mengetahui jawabannya, membaca blog saya pada naskah yang bertajuk “Kisah Siti, Dina dan Umi”. Naskah tersebut saya posting di blog pada tanggal 11 Mei 2011. Pertanyaan tertulis tersebut, kurang lebih menyampaikan curhat tentang kondisi yang dihadapi. Sebagai akhwat aktivis dakwah yang masih muda usia, sering kali dianggap sebagai “anak kecil”. Dianggap belum tahu apa-apa, sehingga berbagai ide dan pemikirannya sering tertolak di kalangan para senior. Maka ia bertanya, bagaimana seharusnya berinteraksi dalam sebuah komunitas bersama para “kasepuhan”? Bagaimana anak muda harus menempatkan diri ketika berinteraksi dakwah dengan para senior yang memiliki otoritas kesenioran dan sejarah? Pertanyaan seperti itulah yang mendasari saya menulis “Kisah Siti, Dina dan Umi” dan memuat di blog ini. Ternyata dari zaman ke zaman, pertanyaan seperti itu selalu muncul, maka “jawaban” sederhana inipun saya anggap masih layak untuk dimuat ulang. Mari kita simak kisah Siti, Dina dan Umi berikut. Senior dan Yunior dalam DInamika Kegiatan Dakwah Seorang wanita muslimah menceritakan kesedihan hatinya karena dimarah-marahi oleh seniornya di organisasi dakwah. Wanita muslimah ini, sebut saja namanya Siti, dan seniornya itu juga seorang muslimah, sebut saja namanya Umi. Siti merasa sangat sedih dan kecewa, karena ia merasa telah melaksanakan dengan serius tugas-tugas kepanitiaan dalam sebuah acara dakwah yang digelar organisasi, namun justru mendapat kritik dan kemarahan Umi, seniornya. Berbagai kekurangan dan kelemahan kepanitiaan, semua ditumpahkan dalam bentuk kemarahan oleh Umi kepada Siti. Tentu saja Siti mengetahui bahwa panitia memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan, namun seakan-akan kerja keras dan usaha maksimal yang sudah dilaksanakan Siti bersama panitia yang lainnya tidak terlihat sama sekali di mata Umi. Yang tampak di mata Umi adalah adanya banyak kekurangan dan hal-hal tidak ideal yang ditampakkan oleh panitia. Sebagai yunior, Siti tidak berani protes atas kemarahan Umi. Ia diam saja menerima kemarahan itu, dan menyimpan kepedihan yang mendalam dalam hatinya. Awalnya Siti bermaksud menyimpannya sendiri, namun lama kelamaan ia merasa tidak tahan. Akhirnya ia mulai membuka pembicaraan dengan seorang teman sesama panitia kegiatan tentang apa yang dialaminya. Betapa terkejut Siti, ternyata temannya itu juga mendapat kemarahan yang sama dari Umi. Bahkan akhirnya diketahui, bahwa Umi memarahi banyak panitia kegiatan. Tentu saja yang dimarahi itu semuanya merasa sakit hati. Karena merasa tidak terima dimarahi, beberapa personil panitia curhat kepada seorang senior organisasi. Sebut saja namanya Dina. Siti bersama beberapa rekannya curhat kepada Dina tentang perlakuan Umi, dan mereka berharap Dina bisa menasihati Umi agar bersikap lebih sabar dan “ngemong” para yunior yang tengah belajar menjadi panitia kegiatan. Mereka toh sudah bekerja serius dan bersungguh-sungguh, bahwa masih dijumpai kekurangan itu sesuatu yang sangat manusiawi. Dina merasa bingung. Satu sisi ia mengerti kegelisahan adik-adik yunior tersebut, namun sisi yang lain ia merasa kurang bisa membahasakan keinginan itu kepada Umi, rekan sejawatnya. Bagaimana Dina harus berbicara kepada Umi, sedangkan Umi sendiri secara terang-terangan bercerita dengan bangga, bahwa ia telah memarahi adik-adik panitia karena masih banyak kekurangan yang dijumpainya. Umi merasa perbuatannya itu benar, karena ia melihat sendiri kekurangan panitia kegiatan dan ia merasa wajib mengingatkan agar tidak berkelanjutan atau berulang. Jika Anda Menjadi Siti Saya ajak anda menjadi Siti, dan saya ajak pula anda menjadi Umi. Menjadi Siti dulu saja ya…. Tempatkan diri anda sebagai Siti. Sebagai yunior, anda telah merasa “hebat” karena terlibat dalam kepanitiaan kegiatan dakwah yang termasuk kegiatan besar. Ingat, kepanitiaan itu tidak ada imbalan materi sama sekali, tidak digaji. Kepanitiaan itu adalah kerja sosial, kerja dakwah, kerja yang berharap pahala Allah semata-mata. Anda masih kuliah, dan tentu mengorbankan banyak waktu untuk melekasanakan amanah kepanitiaan. Waktu yang semestinya anda alokasikan untuk belajar, ke kampus, ke perpustakaan atau mengerjakan tugas di kamar kost, anda gunakan sepenuhnya untuk melaksanakan amanah kepanitiaan. Ini pengalaman luar biasa bagi anda, karena bisa menjadi panitia kegiatan dakwah tingkat nasional. Anda bekerja habis-habisan, demi suksesnya acara. Berbulan-bulan lamanya menyiapkan kegiatan, dari rapat ke rapat, dari koordinasi ke aksi, dari pagi hingga sering pulang bermalam hari. Membagi tugas, mengatur strategi, menyusun rencana, membuat anggaran, sampai melaksanakan semua hal-hal teknis. Lelah sekali, namun anda nikmati. Hingga akhirnya jadwal kegiatan itu tiba. Semua telah bekerja dan menunaikan amanah sesuai rencana. Di tengah-tengah kesibukan yang sangat padat, di tengah kelelahan yang mendera karena standby bekerja sebagai panitia berhari-hari lamanya, tiba-tiba seorang senior bernama Umi datang ke ruang sekretariat dan tanpa bertanya ini dan itu, tiba-tiba langsung keluar kata-kata kritik pedas dan menumpahkan kemarahan kepada anda. Umi menganggap panitia tidak becus mengelola kegiatan, banyak sekali kekurangan yang tampak di hadapan mata sehingga Umi merasa malu melihat kekurangan itu. Sedih bukan main rasa hati anda. Sebagai yunior anda akan sangat senang dan bangga apabila Umi datang ke sekretariat untuk mengucapkan selamat atas kerja yang anda lakukan, walaupun hasilnya masih terdapat kekurangan. Namun Umi sama sekali tidak menyebut kebaikan dan apresiasi atas kerja keras panitia sama sekali. Yang diungkapkan hanya kekesalan dan kritik pedas kepada panitia yang dianggap tidak bisa bekerja sama. Sangat manusiawi jika anda merasa sedih, bahkan perasaan anda menjadi “down”, jatuh, karena tidak menyangka akan mendapatkan apresiasi sedemikian “nylekit” dari seorang senior. Namun jangan terlalu sentimentil dan larut dalam kesedihan. Karena ada kalanya anak muda harus “ngemong” yang lebih tua, walaupun seharusnya seniorlah yang “ngemong” adik-adik yunior. Kelebihan Umi ada pada posisi senior, sehingga merasa memiliki saham sejarah atas segala sesuatu yang ada di organisasinya. Maka anda posisikan diri menghormati orang tua, menerima kritik dan kemarahannya, serta menjadikan itu sebagai masukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Jangan menjadi kecewa dan bahkan putus asa, yang menyebabkan anda tidak mau lagi terlibat menjadi panitia kegiatan selanjutnya, atau tidak mau menjadi anggota organisasi dakwah, atau bahkan tidak mau berdakwah lagi. Anggap itu bagian dari ujian keikhlasan anda menapaki kegiatan dakwah. Jika anda sukses, insyaallah anda akan menjadi pejuang yang tangguh. Jika Anda Menjadi Umi Sekarang saya ajak anda gantian menjadi Umi…. Tempatkan diri anda pada posisi Umi. Sebagai senior mestinya anda bersikap lebih dewasa dan bijak menghadapi realitas adik-adik yunior. Mereka adalah aset yang paling berharga dalam organisasi dakwah anda. Benar, tak ada aset yang lebih berharga dalam organisasi anda kecuali mereka, generasi muda penerus aktivitas dakwah. Kehadiran anda pada kegiatan mereka telah memberikan semangat dan energi luar biasa. Apalagi jika anda hadir sambil memberikan apresiasi positif atas jerih payah dan kerja keras yang telah mereka lakukan selama ini. Tentu semangat para yunior akan bertambah menggelora. Saat anda menyaksikan kekurangan dan kelemahan dalam kegiatan, jangan langsung anda tumpahkan dalam bentuk kemarahan kepada panitia pelaksana. Karena itu bercorak sangat reaktif, dan justru men-down grade senioritas anda. Tampak bahwa anda tidak mengetahui mekanisme organisasi. Bukankah nanti ada saat evaluasi kegiatan kepanitiaan, dan anda bisa menyampaikannya di forum evaluasi tersebut ? Bukankah saat kegiatan sedang berjalan, para panitia itu punya garis komando yang jelas. Siapa berhak menginstruksi dan siapa yang tidak berhak, itu semua ada mekanisme dan aturannya. Sebagai apakah anda waktu itu ? Apakah anda termasuk panitia kegiatan yang punya garis instruksi ? Bukankah anda “hanya” seorang senior yang kebetulan menyaksikan ada kekurangan dalam kepanitiaan. Mengapa bisa langsung intervensi ke panitia pelaksana ? Aneh sekali perilaku anda sebagai senior. Ketahuilah, saat anda menumpahkan kemarahan kepada panitia pelaksana yang rata-rata adalah yunior anda, itu sangat melukai perasaan mereka. Bahkan bisa berpotensi membuat mereka kecewa dan akhirnya mundur dari organisasi dakwah yang anda rintis sekian lama. Adik-adik yunior itu diam saat anda marahi, bukan karena mereka menerima kritik dan kemarahan anda. Bukan karena mereka legowo, namun diamnya mereka semata-mata menghormati senioritas anda. Andai saja anda bukan orang senior, pasti kritik dan kemarahan anda yang tidak proporsional akan berbuntut panjang. Harusnya anda menempatkan diri secara proporsional. Menjadi senior itu sulit, karena semua yang dilakukan telah menjadi acuan dan justifikasi para yunior. Tampakkan jiwa kedewasaan anda, mestinya anda menanamkan hikmah dan kebijaksanaan di hadapan generasi muda penerus kegiatan dakwah. Bukan menampakkan sikap kekanak-kanakan yang bisa menyakitkan hati dan perasaan kader yang baru saja bergabung dalam kegiatan di organisasi anda. Bukan menunjukkan posisi powerful yang anda miliki, menampakkan otoritas sebagai senior yang anda dapatkan dari aset sejarah. Mengapa tidak anda tampakkan saja sikap ramah dan membimbing generasi muda, agar mereka merasa semakin nyaman membersamai kegiatan organisasi ? Anda telah salah memahami makna senior. Bukankah senior itu hanya karena anda lebih dahulu bergabung dengan organisasi dakwah, dan mereka disebut yunior karena bergabungnya belakangan ? Tidak ada jaminan bahwa senior lebih baik dan lebih berkualitas dari yunior, tidak ada kaidah yang membenarkan bahwa seorang senior berhak berlaku semena-mena dan berbuat semaunya terhadap yang muda. Senior itu hanya karena takdir sejarah, bahwa anda bergabung lebih awal daripada yang lainnya. Itu saja, jangan dilebih-lebihkan. Jika Anda Menjadi Dina Bagaimana kalau menjadi Dina ? Anda jangan sungkan menyampaikan kepada Umi. Sebagai sahabat sejawat, satu generasi, anda harus berani menyampaikan aspirasi adik-adik yunior yang merasa disakiti hatinya. Sampaikan saja dengan bahasa yang tepat kepada Umi, bahwa tindakannya kepada Siti dan beberapa panitia kegiatan telah menyebabkan mereka tidak nyaman. Jika perilaku seperti itu menjadi kebiasaan, bahkan kebanggaan, akan berpotensi merusak tatanan organisasi. Anda harus membersamai Umi agar ia lebih arif serta bijak menempatkan diri dalam organisasi. Nasihati Umi agar ia mengerti ketidaktepatan kemarahannya. Ajak Umi untuk meminta maaf kepada Siti, serta panitia pelaksana lainnya yang sempat mendapat kemarahan Umi. Permintaan maaf ini akan menyebabkan tumbuhnya cinta, kepercayaan dan penghormatan para yunior kepada senior mereka. Generasi muda akan melihat bahwa orang-orang tua bersedia meminta maaf kepada yang muda atas ketidaktepatan tindakan yang dilakukannya. Ini merupakan pembelajaran dan pendidikan yang sangat berarti bagi anak-anak muda. Umi tidak akan jatuh wibawa dan kehormatannya dengan meminta maaf, bahkan sebaliknya, tindakan itu akan menjadi awal respek dan penghormatan dari para yunior. Sikap keras kepala dan tinggi hati yang ditampakkan Umi justru berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan kewibawaannya. Maka sebagai sesama senior, anda harus bisa meluruskan persepsi Umi. Setelah Umi bersedia meminta maaf, maka ajaklah Siti serta teman-teman panitia lainnya untuk tidak memperbesar masalah, untuk menganggap selesai masalah ini, dan tidak mengungkit lagi. Ajak Siti dan teman-teman panitia silaturahim ke rumah Umi untuk meminta nasihat dan tausiyah. Posisi anda sangat tepat untuk mengatur ini semua, karena Siti telah curhat kepada anda selaku senior organisasi. Inilah rajutan hati dan ikatan perasaan dalam dinamika dakwah. Sebagian di antara kita ditakdirkan menjadi senior, sebagian yang lainnya menjadi yunior. Semata-mata karena sebagian telah lebih dahulu melakukan aktivitas dakwah dalam organisasi, sedangkan sebagian yang lainnya baru bergabung belakangan. Maka menjadi senior harus sangat berhati-hati dalam bersikap, berbicara, bertingkah laku, karena semua akan menjadi acuan generasi muda. Diamnya para senior saja memiliki arti, apalagi kemarahannya. Sebaliknya, sebagai yunior hendaknya banyak belajar dan menimba pengalaman dari generasi terdahulu. Jika ada perkataan, perbuatan dan tingkah laku generasi terdahulu yang tidak menetapi standar kebaikan, hendaknya anda tidak menjadikannya sebagai patokan. Anda berkewajiban untuk memberikan masukan, pengingatan, tausiyah dan kritik konstruktif dengan cara yang tepat dan tetap menghormati pihak yang lebih tua. Karena Siti merasa tidak mampu memberikan masukan dan pengingatan secara langsung, maka ia sampaikan itu kepada Dina agar bisa meneruskan kepada Umi. Ini contoh kebijakan dalam menyampaikan masukan dan saran. Bukan mendiamkan, namun menyalurkan melalui saluran yang tepat. Semoga Allah kuatkan Siti dan rekan-rekannya di jalan dakwah. Semoga Allah ampuni Umi dan membimbingnya agar menjadi gudang hikmah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan kebijaksanaan kepada Dina sehingga menjadi qudwah. Amin. Ditulis ulang : Yogyakarta, 7 Desember 2012

Sudut Pak Cah : Jika Engkau di dzalimi

Engkau mungkin terlalu sensitif. Engkau mengira semua orang menghinamu. Engkau mengira semua orang mengejekmu. Engkau merasa semua orang mentertawakanmu. Engkau menduga semua orang membencimu. Padahal tidak begitu. Yang terjadi adalah : semua orang tengah memperhatikanmu. Oleh karena itu mereka akan segera mengetahui kualitas dirimu. Ketegaranmu memberikan inspirasi bagi siapapun yang memperhatikanmu. Ketabahanmu memberikan motivasi kepada semua orang di sekitarmu. Ketulusanmu menguatkan langkah perjuanganmu. Teruslah berjalan dan bekerja menggapai visi peradaban baru. Tegakkan kepalamu, saudaraku. Jangan ragu. Allah tidak akan menyia-nyiakan semua usaha dakwahmu.

Sudut Pak Cah : Tegarnya Nabi Nuh

Engkau kira selamanya engkau akan dipuji orang? Bukankah pujian itu justru melenakanmu? Engkau kira selamanya kerjamu akan dihargai? Ketahuilah, orang paling baik di muka bumi inipun –para Nabi– tetap dicaci dan bahkan dimusuhi. Bagaimana dengan kita yang dhaif ini? Belajarlah tegar, seperti Nuh yang diejek kaumnya. Padahal ia tengah bekerja menyiapkan bahtera keselamatan. “Dan mulailah Nabi Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nabi Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nabi Nuh : Jika kalian mengejek kami maka sesungguhnya kami pun nanti akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek kami” (QS. Hud: 38). Mereka selalu mengejek Nuh yang tengah bekerja menyelematkan peradaban. Tapi Nuh tetap bekerja walau diejek, dihina dan dinista. Maka teruslah berbuat kebaikan walau engkau dihujat bahkan dilaknat. “Janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan” (QS. Hud: 36).

Wednesday 29 May 2013

Pojok Salim A Fillah

Nazhar, Bukan Sekedar Ta’aruf Posted on 06/10/2012 Engkaulah itu minyak atar Meskipun masih tersimpan Dalam kuntum yang akan mekar -Iqbal, Javid Namah- “Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami”, kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat dan jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi. Janggut. Salah satu simbol kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin dan bersih. Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya! Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya. Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!” Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya. Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya. ♥♥♥ Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu. Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih anaknya. Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas. Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq. Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.” Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum. ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat 13) ♥♥♥ Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.” Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.” Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk menikahi. Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya, ”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih langgeng.” Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi. Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar. Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan mestarikan prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama. Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya.. Keluarkan Kucing dari Karungnya jangan kau kira cinta datang dari keakraban dan pendekatan yang tekun cinta adalah putera dari kecocokan jiwa dan jikalau itu tiada cinta takkan pernah tercipta, dalam hitungan tahun, bahkan millenia -Kahlil Gibran- Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin menikah dengan kucing. Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja. Adalah Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker yang setelah sukses dengan buku Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya, Blink: The Power of Thinking without Thinking. Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya. Dua detik pertama mencerap dengan indera itu menentukan. Mahapenting. Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan akbar. “Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.” Padahal seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja. Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja. Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon tak bias memasak? “Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum. “Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.” Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.” Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua macam profesi itu. Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja. Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda. “Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah) Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja. Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak menyatu. ”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita. Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu. kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan tapi satu hal tetap sama mereka cocok karena bersama bertasbih memuji Allah seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya

Kultum : Menyayangi anak kecil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kodirun Dalam kitab Akhlaq al-Mu’min, Amr Khalid menceritakan ada seorang anak kecil di Kota Madinah. Namanya, Umair. Dia selalu membawa seekor burung untuk digunakan bermain-main. Nabi menamai burung ini Nughair. Setiap kali melihat Umair, Nabi bertanya kepadanya, “Wahai Umair, apa yang sedang dilakukan Nughair?” Pada suatu hari, Rasulullah saw melihat Umair sedang menangis. Beliau bertanya kepadanya, “Mengapa kamu menangis wahai Umair?” Jawab Umair, “Wahai Rasulullah, Nughair sudah mati.” Selanjutnya, Rasulullah saw duduk sebentar bermain-main dengan Umair. Kebetulan, para sahabat Nabi sedang lewat dan mendapati Rasulullah saw sedang bermain-main dengan Umair. Nabi pun melihat mereka sambil berkata, “Nughair telah mati. Saya ingin bermain-main dengan Umair.” Subhanallah, kisah yang sangat indah dan menakjubkan. Adalah Rasulullah saw yang memiliki akhlak paling sempurna sebagai pembawa rahmat untuk seluruh makhluk-Nya. Beliau masih memilik waktu untuk memberikan empatinya di sela-sela kesibukan menyampaikan pesan-pesan Allah SWT. Kisah tersebut adalah contoh nyata bagaimana Rasulullah saw memberi teladan setiap orang tua mencurahkan dan mengajarkan kasih sayang kepada anak kecil. Rasulullah saw juga pernah bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak mau menyayangi yang kecil dari kami dan tidak mau mengetahui hak orang tua dari kami.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Anak kecil adalah aset bangsa dan negara. Mereka juga calon penerus lestarinya ajaran-ajaran agama ini. Setiap orang tua wajib mencurahkan kepada setiap anaknya kasih sayang yang tulus. Bahkan, mewariskan dan mengajarkan kasih sayang kepada mereka dengan cara arif dan bijaksana. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mencurahkan perhatian yang maksimal demi suksesnya anak-anak kecil kelak di kemudian hari. Namun, dalam kesibukan yang terlalu padat kita sering kehilangan waktu untuk sekadar memberikan perhatian sebagaimana yang diteladankan Rasulullah di atas. Kelihatan remeh, tetapi sesungguhnya memiliki dampak yang cukup besar untuk masa depan anak-anak. Anak-anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua atau lingkungan sekitar cenderung berperilaku negatif. Bahkan, dapat mengalami kegagalan dalam kehidupan mereka karena tidak tahu bagaimana cara mencurahkan kasih sayang kepada sesama. Maka, dapat ditegaskan, sebagai manusia kita harus kembali pada fitrah sebagai manusia yang diciptakan untuk saling menyayangi. Wallahua’lam.