spiritual kita seperti laut, kadang pasang kadang surut, jiwa kita seperti langit, kadang cerah kadang mendung, pengetahuan kita seperti kaca, kadang jernih kadang buram---------Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Friday 31 May 2013

Pojok Salim A Fillah : Yang K Tahu Allah selalu Bersamaku

Yang Aku Tahu; Allah Bersamaku Posted on 23/02/2012 aku percaya maka aku akan melihat keajaiban iman adalah mata yang terbuka mendahului datangnya cahaya “Aku”. Jawaban Musa itu terkesan tak tawadhu’. Ketika seorang di antara Bani Israil bertanya siapakah yang paling ‘alim di muka bumi, Musa menjawab, “Aku”. Tapi oleh sebab jawaban inilah di Surat Al Kahfi membentang 23 ayat, mengisahkan pelajaran yang harus dijalani Musa kemudian. Uniknya di dalam senarai ayat-ayat itu terselip satu lagi kalimat Musa yang tak tawadhu’. “Kau akan mendapatiku, insyaallah, sebagai seorang yang sabar.” Ini ada di ayat yang keenampuluh sembilan. Di mana letak angkuhnya? Bandingkan struktur bahasa Musa, begitu para musfassir mencatat, dengan kalimat Isma’il putra Nabi Ibrahim. Saat mengungkapkan pendapatnya pada sang ayah jikakah dia akan disembelih, Isma’il berkata, “Engkau akan mendapatiku, insyaallah, termasuk orang-orang yang sabar.” Tampak bahwa Isma’il memandang dirinya sebagai bagian kecil dari orang-orang yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama pribadinya. Dan sayangnya lagi, dalam kisahnya di Surat Al Kahfi, ia tak sesabar itu. Musa kesulitan untuk bersabar seperti yang ia janjikan. Sekira duapuluh abad kemudian, dalam rekaman Al Bukhari dan Muslim, Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang kisah perjalanan itu, “Andai Musa lebih bersabar, mungkin kita akan mendapat lebih banyak pelajaran.” ​Wallaahu A’lam. Mungkin memang seharusnya begitulah karakter Musa, ‘Alaihis Salaam. Kurang tawadhu’ dan tak begitu penyabar. Sebab, yang dihadapinya adalah orang yang paling angkuh dan menindas di muka bumi. Bahkan mungkin sepanjang sejarah. Namanya Fir’aun. Sangat tidak sesuai menghadapi orang seperti Fir’aun dengan kerendahan hati dan kesabaran selautan. Maka Musa adalah Musa. Seorang yang Allah pilih untuk menjadi utusannya bagi Fir’aun yang sombong berlimpah justa. Dan sekaligus, memimpin Bani Israil yang keras kepala. ​Hari itu, setelah ucapannya yang jumawa, Musa menerima perintah untuk berjalan mencari titik pertemuan dua lautan. Musa berangkat dikawani Yusya ibn Nun yang kelak menggantikannya memimpin trah Ya’qub. Suatu waktu, Yusya melihat lauk ikan yang mereka kemas dalam bekal meloncat mencari jalan kembali ke lautan. Awalnya, Yusya lupa memberitahu Musa. Mereka baru kembali ke tempat itu setelah Musa menanyakan bekal akibat deraan letih dan lapar yang menggeliang dalam usus. ​Di sanalah mereka bertemu dengan seseorang yang Allah sebut sebagai, “Hamba di antara hamba-hamba Kami yang kamu anugerahi rahmat dari arsa Kami, dan Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Padanyalah Musa berguru. Memohon diajar sebagian dari apa yang telah Allah fahamkan kepada Sang Guru. Nama Sang Guru tak pernah tersebut dalam Al Quran. Dari hadits dan tafsir lah kita berkenalan dengan Khidzir. ​Kita telah akrab dengan kisah ini. Ada kontrak belajar di antara keduanya. “Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar. Dan aku takkan mendurhakaimu dalam perkara apapun!”, janji Musa. “Jangan kau bertanya sebelum dijelaskan kepadamu”, pesan Khidzir. Dan dalam perjalanan menyejarah itu, Musa tak mampu menahan derasnya tanya dan keberatan atas tiga perilaku Khidzir. Perusakan perahu, pembunuhan seorang pemuda, dan penolakan atas permohonan jamuan yang berakhir dengan kerja berat menegakkan dinding yang nyaris rubuh. Tanpa minta imbalan. ​Alhamdulillah, kita belajar banyak dari kisah-kisah itu. Kita belajar bahwa dalam hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih. Seperti para nelayan pemilik kapal. Kapal yang bagus akan direbut raja zhalim. Tapi sedikit cacat justru menyelamatkannya. Sesuatu yang ‘sempurna’ terkadang mengundang bahaya. Justru saat tak utuh, suatu milik tetap bisa kita rengkuh. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh.. Apa yang tak bisa didapatkan sepenuhnya, jangan ditinggalkan semuanya.” Kita juga belajar bahwa ‘membunuh’ bibit kerusakan ketika dia baru berkecambah adalah pilihan bijaksana. Dalam beberapa hal seringkali ada manfaat diraih sekaligus kerusakan yang meniscaya. Padanya, sebuah tindakan didahulukan untuk mencegah bahaya. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih.. Mencegah kerusakan didahulukan atas meraih kemashlahatan.” Dan dari Khidzir kita belajar untuk ikhlas. Untuk tak selalu menghubungkan kebaikan yang kita lakukan, dengan hajat-hajat diri yang sifatnya sesaat. Untuk selalu mengingat urusan kita dengan Allah, dan biarkanlah tiap diri bertanggungjawab padaNya. Selalu kita ingat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sultan yang dimakan fitnah memenjarakan dan menyiksanya. Tapi ketika bayang-bayang kehancuran menderak dari Timur, justru Ibnu Taimiyah yang dipanggil Sultan untuk maju memimpin ke garis depan. Berdarah-darah ia hadapi air bah serbuan Tartar yang bagai awan gelap mendahului fajar hendak menyapu Damaskus. Ketika musuh terhalau, penjara kota dan siksa menantinya kembali. Saat ditanya mengapa rela, ia berkata, “Adapun urusanku adalah berjihad untuk kehormatan agama Allah serta kaum muslimin. Dan kezhaliman Sultan adalah urusannya dengan Allah.” Iman dan Keajaiban yang Mengejutkan ​Subhanallah, alangkah lebih banyak lagi ‘ibrah yang bisa digali dari kisah Musa dan Khidzir. Berlapis-lapis. Ratusan. Lebih. Tapi mari sejenak berhenti di sini. Mari picingkan mata hati ke arah kisah. Mari seksamai cerita ini dari langkah tertatih kita di jalan cinta para pejuang. Mari bertanya pada jiwa, di jalan cinta para pejuang siapakah yang lebih dekat ke hati untuk diteladani? Musa. Bukan gurunya. Ya. Karena di akhir kisah Sang Guru mengaku, “Wa maa fa’altuhuu min amrii.. Apa yang aku lakukan bukanlah perkaraku, bukanlah keinginanku.” Khidzir ‘hanyalah’ guru yang dihadirkan Allah untuk Musa di penggal kecil kehidupannya. Kepada Khidzir, Allah berikan semua pemahaman secara utuh dan lengkap tentang jalinan pelajaran yang harus ia uraikan pada Rasul agung pilihanNya, Musa ‘Alaihis Salaam. Begitu lengkapnya petunjuk operasional dalam tiap tindakan Khidzir itu menjadikannya sekedar sebagai ‘operator lapangan’ yang mirip malaikat. Segala yang ia lakukan bukanlah perkaranya. Bukan keinginannya. Beberapa orang yang menyebut diri Sufi mengklaim, inilah Khidzir yang lebih utama daripada Musa. Khidzir menguasai ilmu hakikat sedang Musa baru sampai di taraf syari’at. Maka seorang yang telah disingkapkan baginya hakikat, seperti Khidzir, terbebas dari aturan-aturan syari’at. Apa yang terlintas di hati menjadi sumber hukum yang dengannya mereka menghalalkan dan mengharamkan. Ia boleh merusak milik orang. Ia boleh membunuh. Ia melakukan hal-hal yang dalam tafsir orang awwam menyimpang, dan dalam pandangan syari’at merupakan sebuah pelanggaran berat. Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Barii, membantah tofsar-tafsir ini. Pertama, tidak ada tindakan Khidzir yang menyalahi syari’at. Telah kita baca awal-awal bahwa semua tindakannya pun kelak bersesuaian dengan kaidah fiqh. Bahkan dalam soal membunuh pun, Khidzir tidak melanggar syari’at karena ia diberi ilmu oleh Allah untuk mencegah kemunkaran dengan tangannya. Alangkah jauh tugas mulia Khidzir dengan apa yang dilakukan para Sufi nyleneh semisal meminum khamr, lalu pengikutnya berkata, “Begitu masuk mulut, khamr-nya berubah menjadi air!” Tidak sama! Kedua, setinggi-tinggi derajat Khidzir menurut jumhur ‘ulama adalah Nabi di antara Nabi-nabi Bani Israil. Sementara Musa adalah Naqib-nya para Naqib, Nabi terbesar yang ditunjuk memimpin Bani Israil, seorang Rasul yang berbicara langsung dengan Allah, mengemban risalah Taurat, dan bahkan masuk dalam jajaran istimewa Rasul Ulul ‘Azmi bersama Nuh, Ibrahim, ‘Isa, dan Muhammad. Maka Musa jauh lebih utama daripada Khidzir. “Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu.” (Al A’raaf 144) Ketiga, Allah memerintahkan kita meneladani para Rasul yang kisah mereka dalam Al Quran ditujukan untuk menguatkan jiwa kita dalam meniti jalan cinta para pejuang. Para Rasul itu, utamanya Rasul-rasul Ulul ‘Azmi menjadi mungkin kita teladani karena mereka memiliki sifat-sifat manusiawi. Mereka tak seperti malaikat. Juga bukan manusia setengah dewa. Mereka bertindak melakukan tugas-tugas yang luar biasa beratnya dalam keterbatasannya sebagai seorang manusia. Justru keagungan para Rasul itu terletak pada kemampuan mereka menyikapi perintah yang belum tersingkap hikmahnya dengan iman. Dengan iman. Dengan iman. Berbeda dengan Khidzir yang diberitahu skenario dari awal hingga akhir atas apa yang harus dia lakukan –ketika mengajar Musa-, para Rasul seringkali tak tahu apa yang akan mereka hadapi atau terima sesudah perintah dijalani. Mereka tak pernah tahu apa yang menanti di hadapan. Yang mereka tahu hanyalah, bahwa Allah bersama mereka. Nuh yang bersipayah membuat kapal di puncak bukit tentu saja harus menahan geram ketika dia ditertawai, diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Tetapi, sesudah hampir 500 tahun mengemban risalah dengan pengikut yang nyaris tak bertambah, Nuh berkata dengan bijak, dengan cinta, “Kelak kami akan menertawai kalian sebagaimana kalian kini menertawai kami.” Ya. Nuh belum tahu bahwa kemudian banjir akan tumpah. Tercurah dari celah langit, terpancar dari rekah bumi. Air meluap dari tungkunya orang membuat roti dan mengepung setinggi gunung. Nuh belum tahu. Yang ia tahu adalah ia diperintahkan membina kapalnya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam.. Ibrahim yang bermimpi, dia juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia benar-benar menyembelih putera tercinta. Anak itu, yang lama dirindukannya, yang dia nanti dengan harap dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan untuk dipisahkan dari dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisah dengan ditinggal di lembah Bakkah yang tak bertanaman, tak berhewan, tak bertuan. Kini Isma’il harus dibunuh. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri. Dibaringkanlah sang putera yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup membuka mata ketika harus mengayau leher sang putera dengan pisau? Ayah mana yang sanggup mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya sambil tetap menatap wajah? Tidak. Ibrahim terpejam. Dan ia melakukannya! Ia melakukannya meski belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang korban. Yang diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam.. Musa juga menemui jalan buntu, terantuk Laut Merah dalam kejaran Fir’aun. Bani Israil yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul! Kita pasti tersusul!”, kata mereka. “Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya Rabbku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Petunjuk itupun datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke laut. Nalar tanpa iman berkata, “Apa gunanya? Lebih baik dipukulkan ke kepala Fir’aun!” Ya, bahkan Musa pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian. Yang dia tahu Allah bersamanya. Dan itu cukup baginya. ‘Alaihis Salaam.. Merekalah para guru sejati. Yang kisahnya membuat punggung kita tegak, dada kita lapang, dan hati berseri-seri. Yang keteguhannya memancar menerangi. Yang keagungannya lahir dari iman yang kukuh, bergerun mengatasi gejolak hati dan nafsu diri. Di jalan cinta para pejuang, iman melahirkan keajaiban. Lalu keajaiban menguatkan iman. Semua itu terasa lebih indah karena terjadi dalam kejutan-kejutan. Yang kita tahu hanyalah, “Allah bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Nuh belum tahu bahwa banjir nantinya tumpah ketika di gunung ia menggalang kapal dan ditertawai Ibrahim belum tahu bahwa akan tercawis domba ketika pisau nyaris memapas buah hatinya Musa belum tahu bahwa lautan kan terbelah saat ia diperintah memukulkan tongkat di Badar Muhammad berdoa, bahunya terguncang isak “Andai pasukan ini kalah, Kau takkan lagi disembah!” dan kitapun belajar, alangkah agungnya iman

Pojok Salim A fillah : Kenangan Cinta

Sebuah Kenangan Atas Cinta Posted on 02/04/2012 Tiap pahlawan punya kisahnya sendiri. Di perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rasulullah dan tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah berdoa sambil menggigit bibir. “Rabbii”, begitu lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhaa. Ya Allah, ambil darahku hari ini sekehendakMu hingga Engkau ridha.” Tombak, pedang, dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas. “Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada Thalhah”. Dan Thalhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah. Tetapi tiap pahlawan punya kisahnya sendiri. Satu hari ia berbincang dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Thalhah memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.” Satu saat dibisikannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.” Gumam hati dan ucapan Thalhah disambut wahyu. Allah menurunkan firmanNya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluhtiga surat Al Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.” Ketika ayat itu dibacakan padanya, Thalhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Allah, dan menunaikan umrah dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Thalhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai Thalhah. Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri. Sesudah wafatnya ‘Utsman ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Thalhah bersama Zubair ibn Al ‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Thalib untuk menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Thalib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya terbatas. Thalhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di tengah kedua kubu. Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Thalhah dan Az Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rasulullah berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu. Dan seolah tak ada jalan selain itu. Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari Thalhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?” Thalhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar. ‘Ali menepuk bahu Thalhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Thalhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.” ‘Ali meraba reaksi Thalhah. Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?” Thalhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Thalhah, bersama Az Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Thalib dengan duka yang begitu dalam, sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya. Seusai pemakaman, ‘Ali menimang putra Thalhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia berbisik. “Nak,’ kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan oleh Allah di Surat Al Hijr ayat keempatpuluh tujuh; “Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.” sepenuh cinta, Salim A. Fillah

Sudut Pak Cah : siti, dina ,dan Umi

Hari Rabu (05/12/2012) saat berlangsung acara Nadwah bersama ustadz Abu Ridha di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyakarta, seorang akhwat bertanya melalui selembar kertas. Pertanyaan sesungguhnya ditujukan kepada ustadz Abu Ridha, namun karena saya selaku moderator Nadwah merasa telah memiliki jawaban, maka saya sampaikan agar para peserta yang ingin mengetahui jawabannya, membaca blog saya pada naskah yang bertajuk “Kisah Siti, Dina dan Umi”. Naskah tersebut saya posting di blog pada tanggal 11 Mei 2011. Pertanyaan tertulis tersebut, kurang lebih menyampaikan curhat tentang kondisi yang dihadapi. Sebagai akhwat aktivis dakwah yang masih muda usia, sering kali dianggap sebagai “anak kecil”. Dianggap belum tahu apa-apa, sehingga berbagai ide dan pemikirannya sering tertolak di kalangan para senior. Maka ia bertanya, bagaimana seharusnya berinteraksi dalam sebuah komunitas bersama para “kasepuhan”? Bagaimana anak muda harus menempatkan diri ketika berinteraksi dakwah dengan para senior yang memiliki otoritas kesenioran dan sejarah? Pertanyaan seperti itulah yang mendasari saya menulis “Kisah Siti, Dina dan Umi” dan memuat di blog ini. Ternyata dari zaman ke zaman, pertanyaan seperti itu selalu muncul, maka “jawaban” sederhana inipun saya anggap masih layak untuk dimuat ulang. Mari kita simak kisah Siti, Dina dan Umi berikut. Senior dan Yunior dalam DInamika Kegiatan Dakwah Seorang wanita muslimah menceritakan kesedihan hatinya karena dimarah-marahi oleh seniornya di organisasi dakwah. Wanita muslimah ini, sebut saja namanya Siti, dan seniornya itu juga seorang muslimah, sebut saja namanya Umi. Siti merasa sangat sedih dan kecewa, karena ia merasa telah melaksanakan dengan serius tugas-tugas kepanitiaan dalam sebuah acara dakwah yang digelar organisasi, namun justru mendapat kritik dan kemarahan Umi, seniornya. Berbagai kekurangan dan kelemahan kepanitiaan, semua ditumpahkan dalam bentuk kemarahan oleh Umi kepada Siti. Tentu saja Siti mengetahui bahwa panitia memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan, namun seakan-akan kerja keras dan usaha maksimal yang sudah dilaksanakan Siti bersama panitia yang lainnya tidak terlihat sama sekali di mata Umi. Yang tampak di mata Umi adalah adanya banyak kekurangan dan hal-hal tidak ideal yang ditampakkan oleh panitia. Sebagai yunior, Siti tidak berani protes atas kemarahan Umi. Ia diam saja menerima kemarahan itu, dan menyimpan kepedihan yang mendalam dalam hatinya. Awalnya Siti bermaksud menyimpannya sendiri, namun lama kelamaan ia merasa tidak tahan. Akhirnya ia mulai membuka pembicaraan dengan seorang teman sesama panitia kegiatan tentang apa yang dialaminya. Betapa terkejut Siti, ternyata temannya itu juga mendapat kemarahan yang sama dari Umi. Bahkan akhirnya diketahui, bahwa Umi memarahi banyak panitia kegiatan. Tentu saja yang dimarahi itu semuanya merasa sakit hati. Karena merasa tidak terima dimarahi, beberapa personil panitia curhat kepada seorang senior organisasi. Sebut saja namanya Dina. Siti bersama beberapa rekannya curhat kepada Dina tentang perlakuan Umi, dan mereka berharap Dina bisa menasihati Umi agar bersikap lebih sabar dan “ngemong” para yunior yang tengah belajar menjadi panitia kegiatan. Mereka toh sudah bekerja serius dan bersungguh-sungguh, bahwa masih dijumpai kekurangan itu sesuatu yang sangat manusiawi. Dina merasa bingung. Satu sisi ia mengerti kegelisahan adik-adik yunior tersebut, namun sisi yang lain ia merasa kurang bisa membahasakan keinginan itu kepada Umi, rekan sejawatnya. Bagaimana Dina harus berbicara kepada Umi, sedangkan Umi sendiri secara terang-terangan bercerita dengan bangga, bahwa ia telah memarahi adik-adik panitia karena masih banyak kekurangan yang dijumpainya. Umi merasa perbuatannya itu benar, karena ia melihat sendiri kekurangan panitia kegiatan dan ia merasa wajib mengingatkan agar tidak berkelanjutan atau berulang. Jika Anda Menjadi Siti Saya ajak anda menjadi Siti, dan saya ajak pula anda menjadi Umi. Menjadi Siti dulu saja ya…. Tempatkan diri anda sebagai Siti. Sebagai yunior, anda telah merasa “hebat” karena terlibat dalam kepanitiaan kegiatan dakwah yang termasuk kegiatan besar. Ingat, kepanitiaan itu tidak ada imbalan materi sama sekali, tidak digaji. Kepanitiaan itu adalah kerja sosial, kerja dakwah, kerja yang berharap pahala Allah semata-mata. Anda masih kuliah, dan tentu mengorbankan banyak waktu untuk melekasanakan amanah kepanitiaan. Waktu yang semestinya anda alokasikan untuk belajar, ke kampus, ke perpustakaan atau mengerjakan tugas di kamar kost, anda gunakan sepenuhnya untuk melaksanakan amanah kepanitiaan. Ini pengalaman luar biasa bagi anda, karena bisa menjadi panitia kegiatan dakwah tingkat nasional. Anda bekerja habis-habisan, demi suksesnya acara. Berbulan-bulan lamanya menyiapkan kegiatan, dari rapat ke rapat, dari koordinasi ke aksi, dari pagi hingga sering pulang bermalam hari. Membagi tugas, mengatur strategi, menyusun rencana, membuat anggaran, sampai melaksanakan semua hal-hal teknis. Lelah sekali, namun anda nikmati. Hingga akhirnya jadwal kegiatan itu tiba. Semua telah bekerja dan menunaikan amanah sesuai rencana. Di tengah-tengah kesibukan yang sangat padat, di tengah kelelahan yang mendera karena standby bekerja sebagai panitia berhari-hari lamanya, tiba-tiba seorang senior bernama Umi datang ke ruang sekretariat dan tanpa bertanya ini dan itu, tiba-tiba langsung keluar kata-kata kritik pedas dan menumpahkan kemarahan kepada anda. Umi menganggap panitia tidak becus mengelola kegiatan, banyak sekali kekurangan yang tampak di hadapan mata sehingga Umi merasa malu melihat kekurangan itu. Sedih bukan main rasa hati anda. Sebagai yunior anda akan sangat senang dan bangga apabila Umi datang ke sekretariat untuk mengucapkan selamat atas kerja yang anda lakukan, walaupun hasilnya masih terdapat kekurangan. Namun Umi sama sekali tidak menyebut kebaikan dan apresiasi atas kerja keras panitia sama sekali. Yang diungkapkan hanya kekesalan dan kritik pedas kepada panitia yang dianggap tidak bisa bekerja sama. Sangat manusiawi jika anda merasa sedih, bahkan perasaan anda menjadi “down”, jatuh, karena tidak menyangka akan mendapatkan apresiasi sedemikian “nylekit” dari seorang senior. Namun jangan terlalu sentimentil dan larut dalam kesedihan. Karena ada kalanya anak muda harus “ngemong” yang lebih tua, walaupun seharusnya seniorlah yang “ngemong” adik-adik yunior. Kelebihan Umi ada pada posisi senior, sehingga merasa memiliki saham sejarah atas segala sesuatu yang ada di organisasinya. Maka anda posisikan diri menghormati orang tua, menerima kritik dan kemarahannya, serta menjadikan itu sebagai masukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Jangan menjadi kecewa dan bahkan putus asa, yang menyebabkan anda tidak mau lagi terlibat menjadi panitia kegiatan selanjutnya, atau tidak mau menjadi anggota organisasi dakwah, atau bahkan tidak mau berdakwah lagi. Anggap itu bagian dari ujian keikhlasan anda menapaki kegiatan dakwah. Jika anda sukses, insyaallah anda akan menjadi pejuang yang tangguh. Jika Anda Menjadi Umi Sekarang saya ajak anda gantian menjadi Umi…. Tempatkan diri anda pada posisi Umi. Sebagai senior mestinya anda bersikap lebih dewasa dan bijak menghadapi realitas adik-adik yunior. Mereka adalah aset yang paling berharga dalam organisasi dakwah anda. Benar, tak ada aset yang lebih berharga dalam organisasi anda kecuali mereka, generasi muda penerus aktivitas dakwah. Kehadiran anda pada kegiatan mereka telah memberikan semangat dan energi luar biasa. Apalagi jika anda hadir sambil memberikan apresiasi positif atas jerih payah dan kerja keras yang telah mereka lakukan selama ini. Tentu semangat para yunior akan bertambah menggelora. Saat anda menyaksikan kekurangan dan kelemahan dalam kegiatan, jangan langsung anda tumpahkan dalam bentuk kemarahan kepada panitia pelaksana. Karena itu bercorak sangat reaktif, dan justru men-down grade senioritas anda. Tampak bahwa anda tidak mengetahui mekanisme organisasi. Bukankah nanti ada saat evaluasi kegiatan kepanitiaan, dan anda bisa menyampaikannya di forum evaluasi tersebut ? Bukankah saat kegiatan sedang berjalan, para panitia itu punya garis komando yang jelas. Siapa berhak menginstruksi dan siapa yang tidak berhak, itu semua ada mekanisme dan aturannya. Sebagai apakah anda waktu itu ? Apakah anda termasuk panitia kegiatan yang punya garis instruksi ? Bukankah anda “hanya” seorang senior yang kebetulan menyaksikan ada kekurangan dalam kepanitiaan. Mengapa bisa langsung intervensi ke panitia pelaksana ? Aneh sekali perilaku anda sebagai senior. Ketahuilah, saat anda menumpahkan kemarahan kepada panitia pelaksana yang rata-rata adalah yunior anda, itu sangat melukai perasaan mereka. Bahkan bisa berpotensi membuat mereka kecewa dan akhirnya mundur dari organisasi dakwah yang anda rintis sekian lama. Adik-adik yunior itu diam saat anda marahi, bukan karena mereka menerima kritik dan kemarahan anda. Bukan karena mereka legowo, namun diamnya mereka semata-mata menghormati senioritas anda. Andai saja anda bukan orang senior, pasti kritik dan kemarahan anda yang tidak proporsional akan berbuntut panjang. Harusnya anda menempatkan diri secara proporsional. Menjadi senior itu sulit, karena semua yang dilakukan telah menjadi acuan dan justifikasi para yunior. Tampakkan jiwa kedewasaan anda, mestinya anda menanamkan hikmah dan kebijaksanaan di hadapan generasi muda penerus kegiatan dakwah. Bukan menampakkan sikap kekanak-kanakan yang bisa menyakitkan hati dan perasaan kader yang baru saja bergabung dalam kegiatan di organisasi anda. Bukan menunjukkan posisi powerful yang anda miliki, menampakkan otoritas sebagai senior yang anda dapatkan dari aset sejarah. Mengapa tidak anda tampakkan saja sikap ramah dan membimbing generasi muda, agar mereka merasa semakin nyaman membersamai kegiatan organisasi ? Anda telah salah memahami makna senior. Bukankah senior itu hanya karena anda lebih dahulu bergabung dengan organisasi dakwah, dan mereka disebut yunior karena bergabungnya belakangan ? Tidak ada jaminan bahwa senior lebih baik dan lebih berkualitas dari yunior, tidak ada kaidah yang membenarkan bahwa seorang senior berhak berlaku semena-mena dan berbuat semaunya terhadap yang muda. Senior itu hanya karena takdir sejarah, bahwa anda bergabung lebih awal daripada yang lainnya. Itu saja, jangan dilebih-lebihkan. Jika Anda Menjadi Dina Bagaimana kalau menjadi Dina ? Anda jangan sungkan menyampaikan kepada Umi. Sebagai sahabat sejawat, satu generasi, anda harus berani menyampaikan aspirasi adik-adik yunior yang merasa disakiti hatinya. Sampaikan saja dengan bahasa yang tepat kepada Umi, bahwa tindakannya kepada Siti dan beberapa panitia kegiatan telah menyebabkan mereka tidak nyaman. Jika perilaku seperti itu menjadi kebiasaan, bahkan kebanggaan, akan berpotensi merusak tatanan organisasi. Anda harus membersamai Umi agar ia lebih arif serta bijak menempatkan diri dalam organisasi. Nasihati Umi agar ia mengerti ketidaktepatan kemarahannya. Ajak Umi untuk meminta maaf kepada Siti, serta panitia pelaksana lainnya yang sempat mendapat kemarahan Umi. Permintaan maaf ini akan menyebabkan tumbuhnya cinta, kepercayaan dan penghormatan para yunior kepada senior mereka. Generasi muda akan melihat bahwa orang-orang tua bersedia meminta maaf kepada yang muda atas ketidaktepatan tindakan yang dilakukannya. Ini merupakan pembelajaran dan pendidikan yang sangat berarti bagi anak-anak muda. Umi tidak akan jatuh wibawa dan kehormatannya dengan meminta maaf, bahkan sebaliknya, tindakan itu akan menjadi awal respek dan penghormatan dari para yunior. Sikap keras kepala dan tinggi hati yang ditampakkan Umi justru berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan kewibawaannya. Maka sebagai sesama senior, anda harus bisa meluruskan persepsi Umi. Setelah Umi bersedia meminta maaf, maka ajaklah Siti serta teman-teman panitia lainnya untuk tidak memperbesar masalah, untuk menganggap selesai masalah ini, dan tidak mengungkit lagi. Ajak Siti dan teman-teman panitia silaturahim ke rumah Umi untuk meminta nasihat dan tausiyah. Posisi anda sangat tepat untuk mengatur ini semua, karena Siti telah curhat kepada anda selaku senior organisasi. Inilah rajutan hati dan ikatan perasaan dalam dinamika dakwah. Sebagian di antara kita ditakdirkan menjadi senior, sebagian yang lainnya menjadi yunior. Semata-mata karena sebagian telah lebih dahulu melakukan aktivitas dakwah dalam organisasi, sedangkan sebagian yang lainnya baru bergabung belakangan. Maka menjadi senior harus sangat berhati-hati dalam bersikap, berbicara, bertingkah laku, karena semua akan menjadi acuan generasi muda. Diamnya para senior saja memiliki arti, apalagi kemarahannya. Sebaliknya, sebagai yunior hendaknya banyak belajar dan menimba pengalaman dari generasi terdahulu. Jika ada perkataan, perbuatan dan tingkah laku generasi terdahulu yang tidak menetapi standar kebaikan, hendaknya anda tidak menjadikannya sebagai patokan. Anda berkewajiban untuk memberikan masukan, pengingatan, tausiyah dan kritik konstruktif dengan cara yang tepat dan tetap menghormati pihak yang lebih tua. Karena Siti merasa tidak mampu memberikan masukan dan pengingatan secara langsung, maka ia sampaikan itu kepada Dina agar bisa meneruskan kepada Umi. Ini contoh kebijakan dalam menyampaikan masukan dan saran. Bukan mendiamkan, namun menyalurkan melalui saluran yang tepat. Semoga Allah kuatkan Siti dan rekan-rekannya di jalan dakwah. Semoga Allah ampuni Umi dan membimbingnya agar menjadi gudang hikmah. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan kebijaksanaan kepada Dina sehingga menjadi qudwah. Amin. Ditulis ulang : Yogyakarta, 7 Desember 2012

Sudut Pak Cah : Jika Engkau di dzalimi

Engkau mungkin terlalu sensitif. Engkau mengira semua orang menghinamu. Engkau mengira semua orang mengejekmu. Engkau merasa semua orang mentertawakanmu. Engkau menduga semua orang membencimu. Padahal tidak begitu. Yang terjadi adalah : semua orang tengah memperhatikanmu. Oleh karena itu mereka akan segera mengetahui kualitas dirimu. Ketegaranmu memberikan inspirasi bagi siapapun yang memperhatikanmu. Ketabahanmu memberikan motivasi kepada semua orang di sekitarmu. Ketulusanmu menguatkan langkah perjuanganmu. Teruslah berjalan dan bekerja menggapai visi peradaban baru. Tegakkan kepalamu, saudaraku. Jangan ragu. Allah tidak akan menyia-nyiakan semua usaha dakwahmu.

Sudut Pak Cah : Tegarnya Nabi Nuh

Engkau kira selamanya engkau akan dipuji orang? Bukankah pujian itu justru melenakanmu? Engkau kira selamanya kerjamu akan dihargai? Ketahuilah, orang paling baik di muka bumi inipun –para Nabi– tetap dicaci dan bahkan dimusuhi. Bagaimana dengan kita yang dhaif ini? Belajarlah tegar, seperti Nuh yang diejek kaumnya. Padahal ia tengah bekerja menyiapkan bahtera keselamatan. “Dan mulailah Nabi Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nabi Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nabi Nuh : Jika kalian mengejek kami maka sesungguhnya kami pun nanti akan mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek kami” (QS. Hud: 38). Mereka selalu mengejek Nuh yang tengah bekerja menyelematkan peradaban. Tapi Nuh tetap bekerja walau diejek, dihina dan dinista. Maka teruslah berbuat kebaikan walau engkau dihujat bahkan dilaknat. “Janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan” (QS. Hud: 36).

Wednesday 29 May 2013

Pojok Salim A Fillah

Nazhar, Bukan Sekedar Ta’aruf Posted on 06/10/2012 Engkaulah itu minyak atar Meskipun masih tersimpan Dalam kuntum yang akan mekar -Iqbal, Javid Namah- “Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami”, kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat dan jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi. Janggut. Salah satu simbol kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin dan bersih. Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya! Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya. Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!” Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya. Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya. ♥♥♥ Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu. Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih anaknya. Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas. Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq. Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.” Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum. ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat 13) ♥♥♥ Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.” Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.” Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk menikahi. Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya, ”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih langgeng.” Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi. Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar. Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan mestarikan prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama. Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya.. Keluarkan Kucing dari Karungnya jangan kau kira cinta datang dari keakraban dan pendekatan yang tekun cinta adalah putera dari kecocokan jiwa dan jikalau itu tiada cinta takkan pernah tercipta, dalam hitungan tahun, bahkan millenia -Kahlil Gibran- Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin menikah dengan kucing. Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja. Adalah Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker yang setelah sukses dengan buku Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya, Blink: The Power of Thinking without Thinking. Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya. Dua detik pertama mencerap dengan indera itu menentukan. Mahapenting. Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan akbar. “Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.” Padahal seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja. Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja. Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon tak bias memasak? “Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum. “Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.” Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.” Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua macam profesi itu. Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja. Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda. “Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah) Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja. Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak menyatu. ”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita. Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu. kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan tapi satu hal tetap sama mereka cocok karena bersama bertasbih memuji Allah seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya

Kultum : Menyayangi anak kecil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kodirun Dalam kitab Akhlaq al-Mu’min, Amr Khalid menceritakan ada seorang anak kecil di Kota Madinah. Namanya, Umair. Dia selalu membawa seekor burung untuk digunakan bermain-main. Nabi menamai burung ini Nughair. Setiap kali melihat Umair, Nabi bertanya kepadanya, “Wahai Umair, apa yang sedang dilakukan Nughair?” Pada suatu hari, Rasulullah saw melihat Umair sedang menangis. Beliau bertanya kepadanya, “Mengapa kamu menangis wahai Umair?” Jawab Umair, “Wahai Rasulullah, Nughair sudah mati.” Selanjutnya, Rasulullah saw duduk sebentar bermain-main dengan Umair. Kebetulan, para sahabat Nabi sedang lewat dan mendapati Rasulullah saw sedang bermain-main dengan Umair. Nabi pun melihat mereka sambil berkata, “Nughair telah mati. Saya ingin bermain-main dengan Umair.” Subhanallah, kisah yang sangat indah dan menakjubkan. Adalah Rasulullah saw yang memiliki akhlak paling sempurna sebagai pembawa rahmat untuk seluruh makhluk-Nya. Beliau masih memilik waktu untuk memberikan empatinya di sela-sela kesibukan menyampaikan pesan-pesan Allah SWT. Kisah tersebut adalah contoh nyata bagaimana Rasulullah saw memberi teladan setiap orang tua mencurahkan dan mengajarkan kasih sayang kepada anak kecil. Rasulullah saw juga pernah bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak mau menyayangi yang kecil dari kami dan tidak mau mengetahui hak orang tua dari kami.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Anak kecil adalah aset bangsa dan negara. Mereka juga calon penerus lestarinya ajaran-ajaran agama ini. Setiap orang tua wajib mencurahkan kepada setiap anaknya kasih sayang yang tulus. Bahkan, mewariskan dan mengajarkan kasih sayang kepada mereka dengan cara arif dan bijaksana. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mencurahkan perhatian yang maksimal demi suksesnya anak-anak kecil kelak di kemudian hari. Namun, dalam kesibukan yang terlalu padat kita sering kehilangan waktu untuk sekadar memberikan perhatian sebagaimana yang diteladankan Rasulullah di atas. Kelihatan remeh, tetapi sesungguhnya memiliki dampak yang cukup besar untuk masa depan anak-anak. Anak-anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua atau lingkungan sekitar cenderung berperilaku negatif. Bahkan, dapat mengalami kegagalan dalam kehidupan mereka karena tidak tahu bagaimana cara mencurahkan kasih sayang kepada sesama. Maka, dapat ditegaskan, sebagai manusia kita harus kembali pada fitrah sebagai manusia yang diciptakan untuk saling menyayangi. Wallahua’lam.

Kisah : Mencari Keadilan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Achmad Satori Ismail Adalah seorang perempuan dari Bani Makhzum meminjam suatu barang dari orang lain tapi kemudian mengingkarinya. Diakuinya barang itu sebagai miliknya. Ketika Rasulullah saw mendengar berita ini langsung memerintahkan agar dipotong tangannya. Dia dianggap telah mencuri barang orang lain dengan sengaja. Kejadian ini memusingkan bangsa Quraisy, karena pelakunya adalah wanita turunan suku yang terhormat dan putusan hukumannya adalah potong tangan. Dan hal ini dianggap sebagai kehinaan bagi suku Quresy. Oleh sebab itu mereka mengutus Usamah ra ( seorang sahabat yang dianggap dekat dengan Rasulullah saw) untuk meminta keringanan agar dibatalkan hukum potong tangan tersebut. Setelah mendengarkan permohonan Usamah, Rasulullah saw menjawab dengan tegas: Apakah kamu meminta pertolongan (keringanan) dalam masalah hudud (ketetapan hukum Allah)? Kemudian Rasulullah saw berkhutbah: “Sesungguhnya umat sebelum kamu sekalian dihancurkan karena ketidakadilan, bila orang elit mencuri dibiarkan dan bila orang lemah mencuri ditegakkan hukum had. Demi Allah, seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri akan aku potong tangannya”. Lalu Rasulullah saw memerintahkan agar wanita Makhzumiyyah tersebut dipotong tangannya. (HR Al Bukhari dan Muslim). Hukum potong tangan dalam Islam tidaklah sembarangan diterapkan tapi harus memenuhi syarat-sayarat yang telah disepakati para ulama fiqh, seperti : dilakukan dengan sengaja, pencurinya berakal bukan orang gila, tidak ada syubhat, diterapkan oleh penguasa dan sebagainya. Dalam hadits di atas, Rasulullah menegaskan dengan kata-kata: “Seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri pasti akan aku potong tangannya” ini menunjukkan urgensinya penegakan hukum untuk kalangan elit. Fatimah yang berasal dari suku yang terhormat dan masih turunan Rasulullah saw, bahkan dia adalah ratu bagi semua wanita muslimah di syurga. Hukum itu akan ditegakkan bila dia mencuri, apalagi wanita Makhzumiyah yang martabatnya berada di bawah Siti Fatimah baik suku atau nasabnya. Hadits di atas sering digunakan sebagai dalil untuk membuktikan keadilan Islam dalam menegakkan hukum dan sikap Islam yang anti rasdiskriminasi, kastaisme dan fanatisme kelompok. Rasulullah menegaskan hukum harus ditegakkan secara adil kepada siapapun tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Bila tidak ditegakkan maka akan mengakibatkan kehancuran suatu bangsa. Mengapa demikian? Keadilan adalah sendi utama masyarakat, sedangkan kedzaliman adalah penyebab musnahnya umat-umat terdahulu dan juga umat yang akan datang. Bila sendi masyarakat sudah tumbang maka musnahlah masyarakat tersebut. Allah mewajibkan kita untuk menegakkan keadilan. Allah berfirman : Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS Ar Rahman 9). Kalau seorang pejabat elit melakukan tindak pidana korupsi, tidak segera diadili tapi kalau orang alit segera diadili, ini pertanda buruk, bangsa ini sedang menuju ke arah kehancuran. Na’udzubillah.

Sunday 26 May 2013

Hari Ini : Kalian sudah Dewasa ...Sekarang !!

Tak terasa InsyaAllah kita akan dipertemukan kembali bulan yang penuh ampunan, barokah yaitu bulan Ramadhan. seperti biasa ditempat kami 2bulan sebelum Ramadhan membuat Panitia hari Besar Islam. sesuai tradisi sebagai Ketua Panitia adalah Remaja Masjid, kita sebagai Takmir hanya mensupport dan membackup kegiatan dan mengarahkannya saja. Yang membuat saya Senang dan terharu adalah , dari sekian undangan yang hadir di masjid ternyata banyak wajah wajah baru. setelah di amati satu persatu..kaget banget saya. ternyata mereka adalah Murud murid TPA dulu. Dan mulai dari itu ingatan masa lalu saya muncul ternyata mereka sekarang sudah dewasa dan sudah siap mengampu amanah untuk menjadi Panitia Hari Besar Islam. Subhanallah mungkin itu yang hanya dapat saya latunkan, wajah wajah mereka penuh semangat dan tidak sabar lagi untuk melaksanakan beban amanah ini. Tak terasa juga kami sudah terlalu lama dalam beraktifitas di TPA hampir 13 tahun sudah kami disana. dan kini kalianlah yang akan menjadi Generasi masa depan masjid ini. teruntuk kawan kawan seperjuangan disini : Ustadzah Ditta Erdianti, Ustadzah Tri Wulandani,Ustadz Eko Riyanto, dll kini hasilnya telah kalian lihat, di kepanitiaan ramadhan tahun ini, semoga amal amal kalian semakin menguatkan kita dalam terus mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh. mungkin ilmu yang kita dapatkan berbeda tapi tujuan kita sama kawan... Allahlah tujuan kita. Terus berkarya dan berbagi Ilmu kalian..teman karena semua dakwah yang dikerjakan tidak akan rugi dimata Allah, Berdakwahlah terus sesuai dengan jalan kita masing masing. Allahu Akbar. maju terus Teman teman jangan biarkan Masjid An Nur kita kosong dan hampa. ayo kita ramaikan dengan kegiatan kegiatan Ramadhan yang Indah...SEMANGAT..Kawan...( Revan, Tata, Bevi, tri , Indri, mamat, Surya, Gery, dll ngak hafal namanya) Kan kami doakan kalian semoga tetap beristiqomah dijalan Islam jalan Allah SWT. " kalau kita berprasangka baik dan membantu agama Allah maka yakinlah Allah akan selalu membantu kita. AllahuAkbar.

Hikmah : Syaban dan Kiblat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA "Seandainya Allah SWT tidak merubah kiblat kaum muslimin dari Bait Al-Maqdis ke Ka'bah pada bulan Rajab tahun ke-2 Hijriyah, maka dapat dibayangkan betapa kerasnya konflik keagamaan antara kaum Muslim-Yahudi-Nasrani pada saat ini." Bait Al-Maqdiq adalah simbol kiblat tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), karena ketiganya memiliki akar sejarah keagamaan dengan tempat mulia tersebut. Namun kesucian tempat tersebut seharusnya diikuti dengan tetap suci dan aslinya tiga ajaran agama samawi, sehingga dua ajaran yang pertama mengukuhkan satu ajaran yang terakhir. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Maka Allah SWT meridhai kecondongan hati Rasulnya yang menginginkan perubahan kiblat dari Bait Al-Maqdis dan telah berjalan sekitar enam belas bulan menuju ke Bait Allah Al-Haram Makkah Al-Mukarramah. Allah SWT berfirman: "Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi." (QS. Al-Baqarah: 144). Kaum muslimin yang menjadi subyek perubahan tersebut menerima perintah perubahan kiblat dengan positif thinking dan ihlas, bukan karena melihat eksistensi perubahannya melainkan siapa yang memerintahkannya. Sebab sudah merupakan sikap kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah SWT sebagaimana ketundukan ruh dan jasadnya. Allah SWT mengabadikan sikap tersebut dalam berfirman: "Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran: 7). Sementara orang-orang munafik, menanggapi perubahan kiblat tersebut dengan negative thinking dan itulah reperesentasi sikap hidup mereka secara keseluruhan yang menunjukkan kekacauan kondisi psikologisnya karena posisi mereka "tidak termasuk dalam golongan ini (orang yang beriman) dan golongan itu (orang kafir)" (QS. An-Nisa: 144). Mereka dengan nada aneh antara lain menyatakan: "Muhammad bingun hendak menghadap ke mana? Seandainya yang pertama benar, lalu mengapa ia meninggalkannya? Seandainya yang kedua benar, berarti selama ini ia berada dalam kebatilan." Adapun orang-orang Yahudi yang karekter dan sifat umumnya memang menentang apapun perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta mengingkari semua kenikmatan yang diberikan-Nya, bersikap sinis dan pertentangan nyata atas perubahan kiblat tersebut. Mereka mengatakan: "Muhammad telah mengingkari kiblatnya para nabi terdahulu. Seandainya ia benar-benar seorang nabi, pastilah ia akan menghadap kiblat para nabi terdahulu." Apapun reaksi mereka, sesugguhnya reaksi tersebut tidak memiliki makna yang cukup berarti karena perubahan arah kiblat merupakan kehendak Allah SWT yang mengandung berbagai sebab dan hikmah, diantaranya: Pertama, Penyatuan seluruh syiar keagamaan kaum muslimin di Makkah dan penegasan pada pengembalian Ka'bah sebagai tempat ibadah pertama manusia di bumi. Kedua, penegasan antara Bait Al-Maqdis dan Bait Al-Baram sebagai dua saudara kandung, karenanya Bait Al-Maqdis tetap dimuliakan dalam Islam dan tidak dapat dihilangkan oleh alasan apapun. Ketiga, sebagai ujian keimanan kaum muslimin kala itu hingga saat ini untuk menentukan siapa yang kuat imannya sehingga tunduk pada perintah Allah dan siapa yang lemah imannya, sehingga kembali dalam kekafirannya. Wallahu A'lam. Penulis dosen pasca sarjana PTIQ Jakarta

Arifin Ilham : adab sebelum tidur

Dari Al-Bara’ bin Azib r.a, Rasulullah bersabda kepadaku, “Kapan pun engkau hendak tidur berwudhulah terlebih dahulu sebagaimana engkau hendak shalat, berbaringlah dengan menghadap ke arah kanan dan berdoalah, ‘Allahumma aslamtu wajhi ilaika, wa fawwadhtu amri ilaika, wa alja’tu zhahri ilaika raghbatan wa rahbatan ilaika. La malja’a wa laa manja minka illa ilaika. Allahumma amantu bikitabikal-ladzi anzalta wa Nabiyyikal arsalta’ Ya Allah! aku berserah diri kepada-Mu, mempercayakan seluruh urusan ku kepada-Mu, aku bergantung kepada-Mu untuk memperoleh berkah-Mu dengan harapan dan ketakutanku kepada-Mu, tak ada tempat untuk perlindungan dan keamanan selain-Mu. Ya Allah! Aku percaya kepada kitab-Mu dan aku percaya kepada Nabi-Mu yang telah engkau utus Maka apabila malam itu engkau mati, kau akan mati dalam keimanan. Biarkanlah kata-kata tadi menjadi kata-kata kita terakhir, sahabatku”. "SubhanAllah inilah diantara alasanku selalu mengingatkan kalian sebelum tidur, jangan lupa berwudhu, berdoa dan berzikir... "Gladi resik Mati" agar kita semakin siap menghadapi kematian yang datang sekonyong konyong dan Allah wafat kan husnul khotimah... Aamiin. Selamat istirahat sahabat sholeh sholehahku".

Arifin Ilham : Kenali 7 hijab hati

Sahabatku, mari kita kenali tujuh hijab hati agar kita dapat menjauhinya: "Azzunub", tumpukan dosa tanpa diiringi dengan kesungguhan bertaubat "Alwasikh" banyak makan dan minum haram "Aljahlu" sangat pintar ilmu dunia tetapi bodoh dan malas belajar Islam "Alhawa tutbau" Nafsu yang diperturutkan terus menerus, seperti minum air laut yang kesannya menghilangkan dahaga "Hubbuddunya", terlalu cinta dunia sehingga tidak peduli lagi halal dan haram "Alzhulmu" banyak orang yang telah disakiti "Asysyaithoonu rookibuhu" karena semua hal-hal tersebut diatas (1 s/d 6), maka dengan mudah syetan menundukkannya sampai tidak sadar manusia itu dalam kesesatan (QS 7:175). Allahumma ya Allah bersihkan hati kami dari semua dosa, sombong, munafik, riya, ujub, berbagai penyakit, hijab hati dan ranjau syetan... Aamiin".

Tuesday 21 May 2013

kultum : Manusia Visioner

Manusia Visioner Posted by pak cah on September 30, 2010 Oleh : Cahyadi Takariawan Visi secara sederhana dipahami sebagai ide bersama tentang hasil yang dinilai dan menjadi motivasi kerja suatu tim (Michael West, Effective Teamwork, 1998). Visi juga dipahami sebagai pernyataan luhur yang hendak dicapai seseorang atau suatu komunitas dan organisasi. Visi juga dipahami sebagai pandangan yang jelas tentang apa yang akan dilakukan, untuk apa melakukan, apa tujuan melakukan suatu perbuatan. Ibarat sebuah pohon, visi adalah bagian akar pohon, dimana nilai-nilai, motivasi dan keyakinan terbangun. Bisa juga dikatakan, visi adalah pulau harapan, dimana “perahu” usaha akan ditambatkan pada pelabuhannya. Visi amat penting dalam mengarahkan kegiatan pribadi dan organisasi. Penggambaran lima orang pekerja bangunan yang tengah bekerja membuat masjid sering menjadi contoh tepat dalam memahami urgensi visi. Ketika ditanya tentang “Apa yang anda kerjakan di sini,” orang pertama menjawab, “Seperti yang anda lihat. Saya mencampur berbagai bahan bangunan”. Orang kedua menjawab, “Saya bekerja mencari uang di sini”. Orang ketiga menjawab, “Saya menyusun batu bata agar menjadi dinding”. Orang keempat menjawab, “Saya bekerja membuat sebuah masjid”. Sedangkan orang kelima menjawab, “Saya tengah membangun peradaban”. Jawaban orang pertama hingga keempat tersebut tidak ada yang salah, karena itulah yang memang mereka kerjakan. Akan tetapi, jawaban orang kelima menandakan sebuah cita rasa ideal yang membuatnya bersemangat melakukan kerja. Tatkala ia menumpuk batu bata hingga menjadi masjid yang terbayang adalah sebuah masyarakat pemakmur masjid yang diliputi oleh keimanan, mereka mengatur kehidupan dengan semangat masjid, akhirnya terbentuklah peradaban baru yang Islami, bermula dari masjid. Jika anda pemuda yang akan menikah, pernikahan anda saya sebut visioner apabila anda mengetahui persis bagaimana anda menikah, untuk apa anda menikah, pernyataan luhur apa yang melatarbelakangi pernikahan serta hendak anda capai dalam pernikahan tersebut. Saya tidak tertarik dengan tema pernikahan dini atau terlambat menikah, karena kapan anda menikah itu adalah sebuah pilihan. Tidak penting bagi saya menilai anda menikah pada usia berapa, namun penting bagi saya untuk meyakinkan anda bahwa anda harus punya visi dalam menjalani pernikahan. Saya menjalani aktivitas sebagai konsultan pernikahan dan keluarga di Jogja Family Center lebih dari sepuluh tahun. Dari interaksi saya dengan sekian banyak masalah pernikahan dan keluarga, saya menemukan ada pernikahan yang visioner, ada pernikahan yang alamiah, ada pula pernikahan yang primitif. Jawaban-jawaban atas pertanyaan yang saya lontarkan kepada suami atau kepada isteri cukup memberi gambaran, apakah mereka menikah dengan sebuah visi yang jelas, atau sekedar memenuhi tuntutan biologis dan kelaziman hidup manusia, atau bahkan karena dipaksa dan terpaksa menikah setelah ada kejadian dan situasi tertentu. Jika anda seorang pedagang, saya sebut anda pedagang visioner apabila memiliki gambaran yang jelas tentang peta kegiatan dagang yang akan anda lalui dan harapan-harapan masa depan yang anda inginkan. Anda berdagang bukan hanya mengalir mengikuti rutinitas kehidupan sebagai pedagang, namun memiliki sejumlah kreasi untuk mengembangkan usaha perdagangan anda karena adanya impian yang akan anda raih pada masa yang akan datang. Mungkin perdagangan anda masih kecil dan sederhana, namun harapan anda tidaklah sederhana. Visi menuntun anda melakukan aktivitas terbaik, visi membakar semangat anda melakukan inovasi dan bertahan menghadapi persaingan yang semakin berat. Jika anda pegawai negeri, saya sebut anda PNS visioner apabila anda tidak hanya rutin bekerja mengikuti ritme “pada umumnya” yang berlaku di instansi anda. Datang pagi, masuk ruang kerja, mulai melakukan aktivitas kantor, jam sepuluh pagi ngopi di kantin sambil mengobrol, atau membaca koran dan mungkin membuka internet, setelah itu makan siang dan sorenya pulang. Anda merasa puas telah bisa mengerjakan serangkaian tugas yang menjadi kewajiban dan, merasa gembira bisa mencapai target yang dibebankan kepada anda. Sebagai PNS anda harus memiliki pandangan yang jelas tentang masa depan bangsa, sehingga anda memiliki peta yang jelas tentang reformasi birokrasi dalam rangka perbaikan sistemik bangsa dan negara tercinta. Anda bukan sebagai pekerja namun anda adalah unsur perubah yang efektif untuk mengawaki jalannya perbaikan pemerintahan Indonesia. Ini yang dimaksud dengan visioner. Jika anda guru, saya sebut anda guru visioner apabila anda tidak terjebak dalam aktivitas rutin belajar mengajar sesuai kurikulum yang telah ditentukan bagi anda. Visi menyebabkan anda memandang murid sebagai potensi kepemimpinan masa depan yang harus anda olah dan anda siapkan segala potensi kebaikannya untuk memimpin Indonesia menuju peradaban yang dicitakan. Anda berinteraksi dengan peserta didik penuh dengan dinamika, karena anda tengah menyiapkan calon presiden, calon menteri, calon pemimpin negeri. Jika anda seorang ibu, saya sebut anda ibu yang visioner apabila anda tidak melakoni hidup ini apa adanya dengan sepenuh kekalahan. Anda adalah pelahir generasi pembangun peradaban mulia. Dari rahim anda lahirlah generasi baru yang akan menyongsong masa depan bangsa, maka anda menyusui, menimang, mendekap, mengasuh bayi dengan sepenuh hati. Bayi itulah cahaya mata yang akan membuka sejarah baru bagi Indonesia dan dunia. Anda tidak sedang menyusui seorang bayi yang lemah, namun anda sedang menyusui calon pemimpin peradaban masa depan dunia. Bayi yang anda gendong itu bukan saja anak anda, dia adalah anak sejarah yang dilahirkan untuk meneruskan jejak Musa as membelah lautan guna menyelamatkan umat manusia. Bayi yang anda gendong itu bukan saja buah pernikahan anda, namun dia adalah buah doa Ibrahim as “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa” (QS. Ibrahim : 39). Jika anda seorang ayah, anda menjadi ayah yang visioner apabila membimbing semua anggota keluarga utuk meniti jalan menuju surga. Anda atasi segala hambatan yang merintangi perjalanan anggota keluarga anda menuju surga. Sejak dari dalam rumah, anda ciptakan suasana “rumah kita adalah surga kita”, hingga akhirnya kelak bisa berkumpul bersama dalam keindahan surgaNya yang abadi. Anda bekerja mencari nafkah untuk menumbuhkan sebuah generasi ahli surga yang akan memimpin dunia menuju pencerahannya. Isteri dan anak-anak anda bukanlah beban, namun mereka adalah pahala yang Allah titipkan kepada anda agar Ia memberikan surga kepada anda. Ya, jadilah visioner. Karena itu yang akan memberikan spirit, energi melimpah ruah dalam kehidupan kita. Sebagai apapun anda, jadilah visioner. Visi yang membuat hidup anda lebih hidup…… Kampus Lemhannas RI, Kamis 30 September 2010

kultum : Cermin Kebenaran

Di awal hanya ada Allah sendiri. Lalu Ia menciptakan arsy-Nya di atas air. Setelah itu Ia ciptakan pena. Kemudian dengan pena itulah ia menitahkan penulisan semua makhluk yang akan Ia ciptakan di alam raya ini: langit, bumi, malaikat, manusia, jin hingga surga dan neraka. Dengan pena itu juga Ia menitahkan penulisan semua kejadian dengan urutan-urutannya pada dimensi ruang dan waktu. Begitulah susunan kejadiannya. Dari Allah awalnya dan kelak ke sana akhirnya. Namun jika Allah tidak mendapatkan manfaat dari ciptaan-ciptaan-Nya, maka tidak ada yang dapat menjelaskan motif di balik sejarah kehidupan itu kecuali hanya satu kata: c i n t a! “Maka”, kata Ibnu Qayyim dalam karyanya Taman Para Pencinta, “semua gerak di alam raya ini adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta.” Dengan dan untuk itulah alam ini bergerak. Kehendak dan cintalah alasan pergerakan dan pemberhentiannya. Tak satupun makhluk di alam ini yang bergerak kecuali bahwa kehendak dan cintalah motif dan tujuannya. Sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya. Maka cinta adalah gerak tanpa henti. Dan inilah makna kebenaran ketika Allah mengatakan, “Dan tiadalah Kami menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antaranya kecuali dengan kebenaran.” (QS Al Hijr: 85). Jadi, cinta adalah makna kebenaran dalam penciptaan. Itu sebabnya, hati yang dipenuhi dengan cinta lebih mudah dan cepat menangkap kebenaran. Cinta tidak tumbuh dalam hati yang dipenuhi keangkuhan, marah dan dendam. Bukankah Nabi saw mengatakan makna sombong adalah menolak kebenaran. Begitulah keangkuhan menyesatkan Abu Jahal, Heraklius dan Saddam Husein. Cinta melahirkan pengakuan dan kerendahan. Cinta adalah cahaya yang memberikan kekuatan penglihatan pada mata hati kita. Begitulah cinta akhirnya membimbing Abu Bakar, Al Najasyi dan Cat Steven kepada Islam. “Cinta dalam jiwa”, kata Iqbal, “serupa penglihatan pada mata”. Pengetahuan bahkan bisa menyesatkan kalau ia tidak dibimbing oleh kelembutan tangan cinta. “Itu kebutaan.”, kata Einstein. Sebab ia tidak melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Itu juga yang menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan modern justru menjauhkan Barat dari Tuhan. Di sana cinta tidak membimbing pengetahuan. Maka dengan penuh keyakinan Iqbal berkata dalam karyanya Javid Namah: Pengetahuan bersemayam dalam pikiran, Tempat cinta ialah hati yang sadar-jaga; Selama pengetahuan yang tak sedikit juga mengandung cinta, Adalah itu hanya permainan sulap si Samiri; Pengetahuan tanpa Ruh Kudus hanya penyihiran *Serial Cinta Anis Matta

kultum : 3 penghancur manusia

REPUBLIKA.CO.ID. Oleh Samson Rahman Ada tiga penghancur paling ampuh yang membuat manusia tak berdaya dan membuatnya tersungkur dalam kehinaan baik di dunia , di mata manusia, dan di akhirat, di sisi Allah. Ketiga hal itu adalah harta, tahta dan wanita. Rasulullah saw senantiasa mengingatkan dan berwasiat kepada umatnya agar senantiasa mawas diri terhadap godaan menggiurkan tiga penghancur sendi sendi iman itu. Dalam sebuah sabdanya mengenai keharusan kita waspada terhadap pesona dunia dan goda rayu wanita, Rasulullah saw berujar, ''Hati-hatilah kalian dari pesona dunia dan hati-hatilah dari goda rayu wanita. (HR. Ad-Dailami). Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah saw berujar, ''Janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan wanita (bukan mahram) karena sesungguhnya syetan akan menjadi orang ketiga.'' (HR. Thabrani). Rasulullah saw mewasiatkan umatnya tidak kemaruk dunia dan hendaklah berlaku zuhud terhadapnya. Jangan tamak jangan rakus. Sebab kecintaan pada dunia tidak akan ada batasnya. Manusia tamak dan rakus dunia tidak akan pernah mencapai puncak bahagia karena dia terus memburunya dengan ruhani yang terengah engah. Rasulullah bersabda, ''Zuhudlah pada dunia, Allah pasti akan mencintaimu dan zuhudlah (tidak berkeinginan) pada apa yang ada di tangan manusia, pasti manusia mencintaimu. (HR. Ibnu Majah). Semakin banyak manusia yang mencinta dunia, gambaran kiamat semakin dekat. Dan manusia semakin jauh dari Allah. Mereka berlomba membidik dunia namun semakin menjaga jarak dari Allah. Rasulullah saw bersabda, ''Hari kiamat semakin dekat. Dan tidaklah manusia kecuali semakin tamak pada dunia dan kepada Allah semakin jauh.'' (HR. Hakim). Dunia itu indah dan sedap namun beracun sehingga banyak manusia yang tertipu oleh cita rasanya. Mereka yang tak memiliki filter ruhani yang baik akan semakin terangsang untuk senantiasa menikmatinya. Hingga akhirnya dia tersedak. Daya tahan ruhaninya menjadi lumpuh dan tumpul. Kepekaan batinnya lemah. ''Dinar dan dirham telah membinasakah orang-orang yang datang sebelum kalian, dia juga akan membinasakan kalian.'' (HR. Thabrani dan Baihaqi), demikian sabda Sang Nabi. Kekuasan juga sering kali menjadikan manusia terpuruk. Tatkala kekuasan dan tahta itu dianggap sebagai kesempatan untuk berbangga diri, untuk memperkaya diri, dan untuk dinikmati. Padahal kekuasan hendaknya diperlakukan sebagai amanah yang tidak ada khianat di dalamnya. Mereka yang dianggap lembek dan lemah untuk memegang amanah ini jangan coba-coba masuk ke dalamnya, sebab dia akan terjungkal dan akan merana. Rasulullah saw pernah memperingatkan sahabat utama Abu Dzar dengan berkata, ''Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah dan sesungguhnya dia (kekuasaan itu) adalah amanah dan di hari kiamat akan menjadi siksa dan sesal kecuali yang mengambil sesuai haknya dan melaksanakan apa seharusnya dilaksanakan. (HR. Muslim). Kesungguhan dalam menjalankan kekuasan inilah yang oleh Rasulullah dituntut dari umatnya yang diberi amanah kekuasaan. Sebagaimana sabdanya: ''Tidaklah ada seorang pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin namun kemudian tidak bersungguh-sungguh dan tidak memberikan nasehat kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka.'' (rakyatnya) (HR. Muslim). Semoga kita terhindar dari godaan genit tahta, harta dan wanita di sebuah zaman yang mulai menggila.

Allah Tak Menyapa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA Imam An-Nawawi dalam Riyadhus-Shalihin (hal. 616). menukil sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw berpesan kepada para sahabatnya: “Tsalaatsatun laa yukallimuhumullahu yaumal qiyamah wa laa yuzakkihim wa laa yandzuru ilaihim wa lahum ‘azabun aliim”. (Ada tiga golongan manusia pada Hari Kiamat tidak disapa, tidak disucikan, tidak ditatap dan akan ditimpakan azam pedih). (HR. Muslim). Pertama ; Syaikhun zaanin (orang tua yang berzina). Allah benci kepada siapa pun yang berzina, tapi lebih benci kepada orang tua bangka yang berzina. Kenapa? Karena seorang yang sudah lanjut usia mestinya menjadi sumber kearifan, melindungi dan panutan masyarakatnya. Menjaga keharmonisan sosial dan keluarga serta semakin taqarrub ilallah. Sama halnya dengan seorang tua yang menikah (poligami) lebih dari empat wanita atau menikahi dua orang bersaudara dalam waktu bersamaan. Allah melarang mendekati atau memfasilitasi perzinahan apalagi melakukannya, baik tersembunyi maupun terang-terangan. (QS. 17:32, 24:2). Kedua ; Malikun kadzdzaabun (penguasa yang berdusta). Allah SWT beci kepada siapa pun yang berdusta (baik kata maupun laku), tapi lebih benci lagi kepada penguasa pendusta. Kenapa? Karena ia akan merugikan orang banyak (rakyat). Ia mengambil hak mereka (zhalim) dan membuat kebijakan yang merugikan, khianat dalam kepemimpinannya. Ia memperkaya diri dan keluarganya, sementara rakyat mengalami kelaparan dan kebodohan. Kalau orang biasa yang dusta, dampaknya hanya untuk diri dan keluarganya. Allah tidak suka kepada dusta (kemunafikan). (QS. 39:32,29:3,16:116). Ketiga ; ‘Aailun mustakbirun (orang miskin yang sombong). Allah benci kepada orang kaya yang sombong, tapi lebih benci lagi kepada orang miskin yang sombong. Kenapa? Karena tidak ada yang patut disombongkan. Jika orang kaya sombong, masih bisa dimengerti. Meskipun, hakekatnya ia juga miskin, karena yang didapatkan bukan miliknya, tapi milik Allah. Orang yang miskin harta, ilmu, kontribusi, ibadah dan lain-lain, namun sombong, itu namanya terlalu. Hanya Allah yang patut sombong (al-mutakabbir) dan Ia tidak suka kepada orang sombong lagi bangga diri. (QS. 4:36,31:18, 57:23, 29:39,17:37). Nabi saw pernah berkisah, kelak di Hari Pembalasan akan datang orang yang mengalami kebangkrutan pahala (muflis), karena seluruh pahala ritualnya terkuras untuk membayar dosa sosialnya. Bahkan, jika pahala ritualnya habis, sementara dosa sosialnya masih ada, maka dosa-dosa dari orang yang diperlakukannya buruk, akan ditimpakan kepadanya hingga ia masuk ke dalam neraka. (HR. Muslim). Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual dengan tiga alasan: Pertama, ciri-ciri orang beriman atau bertakwa lebih banyak ibadah sosialnya. (QS. 23:1-11). Kedua, jika ibadah ritual bersamaan dengan ibadah sosial, maka didorong untuk mendahulukan yang sosial. Misalnya, Nabi saw pernah melarang seorang imam membaca surat panjang dalam shalat berjamaah (HR. an-Nasa’i). Nabi saw juga pernah memperpanjang sujudnya karena cucunya bermain dipundaknya. (HR. Jamaah). Ketiga, kalau ibadah ritual cacat, dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial. Misalnya melanggar larangan puasa harus ditebus dengan memberi makan fakir miskin. Sebaliknya, jika ibadah sosial yang rusak, tidak bisa diganti dengan ibadah ritual. Misalnya, durhaka kepada orang tua dan dzalim kepada tetangga tidak bisa diganti dengan puasa, zikir atau membaca al-Qur’an. Ketiga golongan manusia yang tidak disapa Allah SWT tersebut di atas, adalah orang-orang yang melakukan dosa sosial, bukan dosa individual. Perbuatan buruk mereka telah merugikan dan menghinakan orang lain, baik secara moril, material maupun masa depan. Jika dosa individual, ampunannya hanya berkaitan dengan Sang Khalik. Tapi, dosa sosial tidak terampuni jika orang-orang yang telah dianiaya (al-madzlum) belum memaafkan. Oleh karena itu, patutlah jika Allah tak berkenan menegur sapa, menyucikan, menatap bahkan mengazab di Hari Pembalasan. Naudzubillahi mindzalik. Allahu a’lam bish-shawab.

Monday 20 May 2013

Rencana Allah pasti Indah

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet. Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut: "Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas."Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil; " anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu. " Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet. Kemudian ibu berkata:"Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan. Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Allah; "Allah, apa yang Engkau lakukan? " Ia menjawab: " Aku sedang menyulam kehidupanmu." Dan aku membantah," Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?" Kemudian Allah menjawab," Anakku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini. Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke sorga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu." "Ya Allah, Ajari Kami Ingat Kepada-Mu, Bersyukur & Khusyu' Beribadah"

Saturday 18 May 2013

pantang putus asa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fariq Gasim Anuz Allah SWT berfirman yang artinya: "Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, "Kapankah datang pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (Surah Al Baqarah 214) "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Surah Ali Imran 142) Hidup adalah perjuangan. Seseorang ingin mencapai kesuksesan dan kebahagiaan haruslah dengan kerja keras dan pengorbanan, dengan kesabaran dan ketabahan, terkadang dengan genangan air mata dan darah. Musibah adalah kasih sayang Allah, agar manusia tidak terjerumus ke jalan orang-orang sesat atau yang dimurkai-Nya. Musibah merupakan rahmat Allah agar kita ingat kepada-Nya, kembali ke jalan-Nya, agar kita memperoleh kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Ammar Bugis (27 tahun) seorang wartawan dan motivator dari Jeddah mengalami kelumpuhan fisik secara total sejak usia dua bulan sampai sekarang. Tiap malam selalu menggunakan alat bantu pernapasan karena sesak saat bernafas. Ia tidak bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya kecuali dua bola mata dan lidahnya saja. Beliau sabar, tabah dan ridha atas takdir Allah bahkan bersyukur atas segala nikmat dan karunia-Nya. Di antara nasehat-nasehat Ammar yang berkesan adalah ketika beliau berpesan agar kita selalu bersangka baik kepada Allah atas setiap musibah yang kita alami. Allah pasti memilih kebaikan untuk kita. Ketika beliau ditanya apa hikmah yang ia peroleh dari kelumpuhan fisiknya? Beliau menjawab dengan mantap, "Yang jelas hisab saya di akhirat lebih ringan dari Anda yang sehat.'' Ia melanjutkan, ''Ini adalah suatu kebaikan untuk saya. Allah berfirman yang artinya: "Kemudian kalian benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (dunia yang kalian berlomba-lomba dan bermegah-megahan itu) " (Surah At Takatsur 8) Jawaban beliau sangat menggetarkan hati pendengarnya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya: "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya yaitu nikmat sehat dan nikmat waktu luang," (Hadits Riwayat Bukhari) Ammar Bugis berpesan ketika diwawancara oleh TV Rawwad Makkah, "Orang yang melihat saya berbaring dalam keadaan lumpuh mengira saya tidak mendapatkan nikmat Allah. Sungguh Allah mengaruniakan kepada saya nikmat yang tidak terhitung banyaknya.'' ''Allah mengaruniakan nikmat kepada saya nikmat Islam, Iman, akal, mata, telinga, kemauan yang kuat, perasaan, kekuatan hafalan sehingga saya dapat menghafal Al Quran (30 juz) saat saya berusia 13 tahun dan nikmat-nikmat lainnya.'' ''Saya berpesan kepada masyarakat agar bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan hendaknya mereka menggunakan potensi dan kelebihan yang Allah berikan untuk memperjuangkan dien Islam ini, memberikan kontribusi dan manfaat untuk masyarakat." Pesan beliau untuk orang-orang berkebutuhan khusus, "Janganlah kalian putus asa, buktikan kepada dunia bahwa anda mampu memberikan manfaat untuk masyarakat.'' ''Anda harus percaya diri, bertekad kuat dan bertawakal. Ketika Allah menutup "pintu" bagi seorang hamba dengan hikmah-Nya pasti Allah membukakan kepadanya "pintu-pintu" lain dengan rahmat-Nya." Beliau juga berpesan, "Perbaikilah hubungan Anda dengan Allah niscaya Allah akan memperbaiki hubungan Anda dengan Manusia".

Penyesalan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Bobby Herwibowo Yasin berusia 15 tahun saat itu. Ia lulus dari SMP dengan nilai buruk. Orang tuanya lantas memasukkan Yasin ke sebuah pesantren. Namun, Yasin tidak suka hidup di pesantren. Menurutnya pesantren terbelakang, dan tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Ia kesal dan marah. Namun, ia dan orang tuanya tak punya pilihan lain sebab ia tidak diterima di SMA Negeri. Sedang untuk masuk sekolah swasta, orang tuanya tak mampu. Maka Yasin dimasukkan pesantren karena terbentur masalah ekonomi. Baru tiga hari di pesantren, ia sudah tak betah. Mandi antri, makan antri, sandal hilang lenyap. Pendek kata, ia tak betah. Apalagi pelajaran, jangankan soal fikih, nahwu, sharaf, tafsir, hadis, dan segudang ilmu lainnya, membaca Alquran pun ia tidak sanggup. Semua itu menjadi akumulasi kekesalan Yasin yang membuat ia ingin keluar pesantren. "Tak sanggup aku belajar di sini" gumam batin Yasin. Menjelang Maghrib, sirene meraung keras ke segala penjuru pesantren untuk memaksa semua santri segera ke masjid. Para ustaz dan santri senior mengatur duduk para santri di masjid. Tradisi di pesantren itu melazimkan seluruh santri membaca surat al-Waqiah dan al-Mulk sebelum Maghrib. Yasin pun turut serta sambil memegang Alquran. Amat sulit ia mencari kedua surah itu, sebab memang jarang membaca Alquran. Seorang bocah kelas dua Tsanawiyah (setingkat SMP) yang duduk di sebelahnya, memperhatikan Yasin. "Mari aku bantu mencarinya, kak," kata anak itu. Namanya Ahmad. Dalam hitungan detik, Ahmad sudah menemukan letak kedua surah itu. Ketika bacaan ta’awaudz dan basmalah dimulai dan diikuti seluruh santri, Yasin mencoba menirukannya. Namun, begitu ayat selanjutnya, Yasin tak mampu lagi mengikutinya. Alih-alih bisa menirukan, membaca saja dia tak tahu. Yasin terlihat gelagapan. Ia kesal karena tak bisa mengikuti bacaan para santri lainnya. Dari dalam hatinya, muncul rasa malu. Sebab, ia yang duduk di kelas 1 SMA, kalah dengan bacaan anak usia di bawahnya, seperti Ahmad. Ia memandangi Ahmad yang begitu menikmati bacaannya. Ahmad mengikuti bacaan Alquran imam dengan begitu rileks. Fasih sekali bacaannya. Suaranya pun terdengar merdu di telinga Yasin. Tampaknya, Ahmad sudah hafal kedua surah itu. Menyaksikan kebodohannya itu, Yasin benar-benar merasa dipermalukan. Ia iri melihat Ahmad dan para santri lainnya yang lancar membaca Alquran. Ia pandangi Alquran itu hingga air matanya menetes di pipinya. Tergambar penyesalan dibenaknya. Usianya sudah 15 tahun, namun belum bisa membaca Alquran. "Ya Allah, ke mana saja saya selama ini?" ujarnya mulai sadar. Sejak saat itu, Yasin bertaubat kepada Allah SWT dan giat belajar membaca Alquran. Ia gunakan waktu yang ada untuk belajar dan terus belajar untuk mengejar ketertinggalannya. Usahanya tak sia-sia. Selama tiga tahun di pesantren atau enam semester, ia menjadi juara umum di sekolahnya. Bahkan, atas prestasinya itu, ia juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo. Kini, Yasin telah berusia 40 tahun. Ia mengenang kisah itu di hadapan saya dengan mata berkaca-kaca. “Saya sangat menyesal, karena selama belasan tahun telah membuang umur dengan sia-sia. Saya memohon ampunan kepada Allah,” ujarnya. Itulah momen hidayah yang didapatkan Ustaz Yasin. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.

NU: Kompromi Rukyat dan Hisab Terjadi Jika Hilal 2 Derajat

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nahdlatul Ulama (NU) memilih metode rukyat dalam menentukan bulan baru Islam atas dasar penafsiran hadis Rasulullah mengenai rukyat. Nabi bersabda, "Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR Bukhori dan Muslim). Sekretaris Lajnah Falakiyah NU Nahari Muhlis mengatakan atas dasar itulah, NU memilih untuk melihat hilal (anak bulan) dengan nyata dan bukan dengan angka-angka. Dari hadits tersebut, menurutnya sudah jelas. "Kami juga melakukan hisab (perhitungan) dulu, lalu kita verifikasi benar tidaknya hitungan itu dengan cara melihat (rukyat). Kalau belum terlihat betul, kami belum menjatuhkan tanggal," ujarnya kepada ROL. Metode hisab dan rukyat itu merupakan satu rangkaian yang dipakai NU. Ia berpendapat, metode yang digunakan Muhammadiyah berhenti di wujudul hilal. Wujudul hilal adalah posisi bulan berada di atas 0 derajat. Sedangkan berdasarkan kesepakatan di kawasan Asia, tinggi hilal adalah 2 derajat. Maka, kemungkinan bulan sudah bisa terlihat. Perbedaan kriteria inilah yang menyebabkan perbedaan penentuan awal Ramadhan atau Idul Fitri. Selain bisa dilihat mata, ada kriteria lain, yaitu umur bulan delapan jam dan jarak antara matahari dan bulan sebesar tiga derajat. "Jika angka hilal itu dinaikkan menjadi 2 derajat, mungkin bisa terjadi kompromi," kata Nahari.

Friday 17 May 2013

Ingin Umrah, Beli Mobil, dan Menikah dengan Berutang, Bisakah?

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu'alaikum Saya seorang pegawai tetap PT Pertamina. Oleh perusahaan gaji saya diberikan lewat Bank Mandiri (tidak cash). Saya punya janji ketika mau melamar di Pertamina pada Bunda, Tante dan Om untuk didoakan kalau lulus insya Allah saya akan biayai melaksanakan umrah tiga orang tersebut. Alhamdulillah saya sudah empat bulan bekerja di Pertamina dan janji tersebut sulit saya laksanakan dalam waktu dekat (1-2 tahun). Teringat kondisi paman yang sudah tua sekali dan mereka maunya berangkat bersama 3 orang. Hal ini menyebabkan saya berpikir untuk meminjam uang ke Bank Mandiri sejumlah Rp 200 juta dengan rincian untuk umrah tiga orang sebesar 60 juta untuk beli mobil bekas Rp 100 juta dan persiapan nikah Rp 40 juta. Nanti pengembalian uang tersebut langsung dipotong gaji saya oleh Bank Mandiri. Apakah rencana saya tersebut tidak dibenarkan agama? Lalu adakah jalan lain bagi saya untuk melaksanakan 3 keinginan sekaligus (umrah, beli mobil & nikah)? Saya pernah ke Bank Muamalat untuk biaya umrah lalu biaya beli mobil ada jalannya tapi untuk pinjam uang buat nikah tidak. Demikian pertanyaan saya besar harapan Ustaz memberikan jawaban dan jalan keluar. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Abdul Hafizh Jawaban : Wa'alaikumussalam wr wb Pak Hafizh yang dirahmati Allah SWT, Memenuhi janji atau nazar adalah perbuatan baik dan satu bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT. Dia berfirman: “Dan tepatilah perjanjianmu dengan Allah apabila kamu telah berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat“. (An-Nahl: 91). Berutang dalam Islam dibolehkan, dengan beberapa catatan yang harus diperhatikan yaitu: utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan, berutang dengan niat dan tujuan yang baik dan akan melunasinya, menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin, dan menyadari bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus segera dikembalikan atau dilunasi. Hal yang tidak kalah penting adalah, bahwa setiap pinjaman tidak dibolehkan adanya tambahan karena termasuk dari praktek riba yang dilarang oleh syariat. Oleh itu, keinginan pak Hafizh (umroh, beli mobil dan menikah) dalam perbankan syariah tidak dinamakan dengan pinjaman, tetapi pembiayaan yang diakomodasi dalam bentuk pembiayaan multijasa (biaya pendidikan, pengobatan, pernikahan, dan lain-lain) dengan mendasarkan kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 44/DSN MUI/VII/2004 tanggal 11 Agustus 2004 yang menggunakan akad ijarah. Namun demikian, mengenai keinginan pak Hafizh untuk umroh, membeli mobil, dan menikah pada waktu yang hampir bersamaan, sebaiknya bapak harus bisa mendahulukan kebutuhan mana yang paling penting dan mendesak. Karena dikhawatirkan kita terjatuh pada bahaya dimana kita tidak sanggup untuk membayar utang-utang tersebut. Seperti peringatan Rasulullah SAW: “Diampunkan semua dosa bagi orang mati yang terkorban syahid, kecuali jika dia mempunyai hutang (kepada manusia).” (HR Muslim, 6/38). Wallahu a’lam bi Showwab Salahuddin El Ayyubi Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB Diasuh oleh Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB Kirimkan pertanyaan Anda ke syariah@rol.republika.co.id

Sehat itu Indah

REPUBLIKA.CO.ID, Docosahexaenoic Acid alias DHA kerap dijadikan bintang promosi karena diyakini mampu mendongkrak tumbuh kembang otak dan retina. Benarkah? Sejatinya, Omega 3, Omega 6, serta Omega 9 -- yang sebetulnya sama saja dengan DHA. Untuk susu bayi 0 - 6 bulan, 'senjata' andalannya adalah laktoferin, zat yang hanya ada dalam ASI (Air Susu Ibu) untuk kekebalan bayi. Zat yang kedengarannya baru itu sebetulnya 'barang lama'. DHA dan saudaranya, eicosapentaenoic (EPA), menrupakan asam lemak Omega -3 yang merupakan jenis asam lemak tak jenuh rantai panjang. Berbeda dengan asam lemak non-esensial yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, asam lemak ini harus disuplai dari luar tubuh. Sumbernya bisa macam-macam. Misalnya ikan laut sebangsa sarden atau salmon. Susu formula bukan satu-satunya, karena di sini sifatnya pun hanya ditambahkan, bukan alami ada dalam susu itu. Saat ini, susu formula bayi memang didesain seilmiah mungkin. Bahkan jika perlu, dibuat menyerupai atau mengungguli ASI baik dalam kandungannya maupun performanya. Tapi bagaimana pun, seperti dituturkan Utami Rusli, dokter anak yang juga penggiat ASI, tidak mungkin susu formula sama persis dan sempurna seperti ASI. Zat-zat yang diconteknya, menurut Utami, boleh sama atau bahkan lebih unggul. ''Tapi kemampuannya untuk diserap usus bayi, nanti dulu,'' ujarnya. Menurut Utami, ASI dibuat dengan komposisi sedemikian rupa sehingga semua zat yang terkandungnya terserap sempurna oleh usus bayi. Zat-zat yang terkandung di dalamnya pun, adalah zat-zat yang memang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi secara optimal. Itu sebabnya, kata Utami, penambahan DHA dalam susu formula bayi belum tentu efektif. Pasalnya, DHA dan laktoferin dalam ASI dilengkapi dengan zat yang membuat kedua bahan ini terserap sempurna oleh usus bayi. Tidak demikian dengan susu formula. Pada susu ini, tidak ada satu zat pun yang mampu 'memaksa' usus bayi untuk menyerap sempurna bahan tersebut. Begitu juga zat besi dalam susu formula. Kendati zat besi vital bagi bayi untuk mencegah anemia dan -- lagi-lagi -- mendukung kecerdasan otak, namun susu formula bayi berzat besi tinggi tidak selamanya bagus untuk bayi. ''Jika zat besi dalam ASI kendati sedikit tapi diserap sempurna oleh usus bayi, tidak demikian dengan susu formula,'' ujar Utami. Akibatnya, zat besi yang tidak terserap itu akan tertinggal dalam usus bayi. Penimbunan zat besi yang terus menerus, menurutnya, merupakan media yang 'empuk' bagi bakteri. Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan usus yang dihuni banyak bakteri. Menurut Utami, hampir semua iklan susu yang ditanggapi secara 'serius' oleh konsumen. Sehingga, proses yang terjadi kemudian bukan sekedar pengenalan produk tapi 'pembodohan' konsumen. Ia mencontohkan seorang karyawati yang mengeluhkan gajinya tidak cukup untuk membeli susu kaleng anaknya. ''Saat saya tanya ada apa dengan ASI-nya, ia jawab ASI saja tidak cukup untuk membuat anak cerdas karena tidak mengandung DHA,'' ujarnya sambil geleng-geleng kepala. Di atas usia enam bulan, katanya, tanpa susu pun tidak masalah, asal asupan gizinya memadai. Hanya saja, di Indonesia terjadi pengertian yang salah kaprah. Dalam piramida gizi yang disosialisasikan, susu menduduki tempat utama sebagai penyempurna. ''Padahal kalau di negara maju, kedudukan susu sejajar dengan bahan makanan lain,'' ujarnya. Reporter : Siwi Tri Puji Redaktur : Endah Hapsari

Al Qur'an

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kitab suci Alquran berjalan beriringan dengan ilmu pengetahuan. Hal tersebut diakui Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Gusti Muhammad Hatta. "Saya melihat semua dalam Alquran itu menjadi satu. Tentang ilmu pengetahuan ada di Alquran. Islam sendiri tidak memisahkan (jadi) dikotomi itu tidak ada," kata Hatta. Pria kelahiran Banjarmasin ini secara pribadi menilai ilmu pengetahuan dan ilmu agama tidak terpisahkan. Meski ia menyadari sebagian orang ada yang berpaham ilmu pengetahuan dan ilmu agama berpaham berbeda. Hatta yang juga tercatat sebagai Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat ini menambahkan Alquran sebagai kitab suci bersifat memberikan petunjuk yang pokok. Ia mencontohkan jika Allah menjadikan bumi dalam keadaan siang terus-menerus, tentu tumbuhan akan mati dan umat manusia tidak mempunyai makanan. "Contoh lainnya banyak. Namanya juga petunjuk kita dalam hidup, mulai dari sosial, kemasyarakatan dan politik ada dalam Alquran. Tinggal dikupas lebih jauh," ujar Hatta.

ISLAM di Negri Samurai (2)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah Dengan terbentuknya komunitas-komunitas kecil Muslim beberapa masjid telah dibangun. Masjid yang paling penting adalah Masjid Kobe yang dibangun pada 1935 (yang merupakan satu-satunya masjid yang tersisa di Jepang saat ini) dan Masjid Tokyo yang dibangun pada 1938. Sangat sedikit Muslim Jepang yang berpartisipasi dalam pembangunan Masjid tersebut. Masjid itu juga tidak memiliki imam dari Jepang. Selama Perang Dunia II, terjadi Islamic Boom atau munculnya kesadaran mengenai Islam melalui organisasi dan riset terhadap Islam dan dunia Muslim yang dilakukan pemerintah militer. Selama periode ini, lebih dari 100 buku dan jurnal tentang Islam telah diterbitkan. Namun, pusat penelitian tidak dijalankan oleh Muslim. Organisasi ini juga tidak memiliki kepentingan menyebarkan agama Islam. Tujuannya agar militer lebih siap dengan pengetahuan yang diperlukan tentang Islam dan Muslim karena ada komunitas Muslim besar di daerah jajahan di Cina dan Asia Tenggara. Organisasi ini menghilang seiring dengan berakhirnya perang pada 1945. Islamic Boom muncul kembali setelah 1973 ketika media massa Jepang memberikan publisitas besar pada dunia Muslim secara umum dan dunia Arab khususnya, setelah menyadari pentingnya negara-negara tersebut bagi ekonomi Jepang. Dengan publisitas ini banyak orang Jepang yang tidak tahu tentang Islam mendapat kesempatan melihat tata cara berhaji di Makkah, mendengar panggilan azan dan bacaan Alquran. Selama periode tersebut, puluhan ribu orang Jepang dikabarkan menjadi mualaf. Hanya sedikit orang yang bisa mengajarkan Islam dalam bahasa Jepang. Sejarah dakwah di Jepang selama 40 tahun terakhir merupakan usaha yang dihasilkan oleh Muslim dari negara di luar Jepang. Bangsa Turki menjadi komunitas Muslim terbesar di Negeri Sakura itu.

ISLAM di Negri Samurai (1)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah Bisa dibilang Islam dan Jepang memiliki hubungan yang masih baru dibandingkan dengan negara lain di dunia. Tidak ada catatan jelas dan rekaman sejarah mengenai kontak Islam di Jepang. Belum diketahui apakah Islam hadir di Jepang melalui propaganda agama. Sebelum 1868 M, diketahui terjadi kontak antara Jepang dan Muslim secara individual. Orang Jepang pertama kali mengetahui Islam pada 1877 M sebagai bagian dari pemikiran keagamaan Barat. Kontak penting lainnya terjadi pada 1890 M ketika Turki Ottoman mengirimkan sebuah kapal angkatan laut ke Jepang dengan tujuan memulai hubungan diplomatik serta memperkenalkan Muslim kepada orang Jepang. Kapal angkatan laut yang disebut Ertugrul itu terbalik. Sebanyak 540 orang dari 609 penumpangnya tenggelam dalam perjalanan kembali ke rumah. Muslim Jepang pertama yang pernah dikenal adalah Mitsutaro Takaoka yang masuk Islam pada 1909. Setelah berhaji ia mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka. Muslim kedua adalah Bumpachiro Ariga yang sekitar waktu yang sama pergi ke India untuk berdagang dan masuk Islam di bawah pengaruh Muslim lokal. Ia kemudian berganti nama menjadi Ahmad Ariga. Namun, studi terbaru mengungkapkan, Torajiro Yamada kemungkinan adalah Muslim pertama Jepang. Ia mengunjungi Turki untuk menyampaikan simpati atas musibah Erthugul. Ia masuk Islam di sana dan berganti nama menjadi Abdul Khalil. Kemungkinan ia juga telah berhaji. Kehidupan komunitas Muslim yang sebenarnya dimulai setelah kedatangan ratusan pengungsi Muslim dari Turkoman, Uzbekistan, Tajik, Kirgiz, dan Kazakh dari Asia Tengah dan Rusia saat Revolusi Bolshevik selama Perang Dunia I. Mereka membentuk komunitas kecil di beberapa kota utama di Jepang. Sejumlah orang Jepang memeluk Islam melalui kontak dengan Muslim ini.

Menjadi Kaya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham Ibnu Hajar Al-Asyqalani (wafat 852 H), suatu hari melintas dengan kereta mewahnya. Seorang Yahudi penjual minyak tar keliling mencegatnya. Penampilan keduanya bertolak belakang; sang ulama tampak anggun dan mewah, sementara Yahudi dekil, compang-camping, berbau busuk dan kumal. "Nabimu berujar bahwa dunia adalah penjara bagi si mukmin dan surga bagi kafir, benarkah demikian?" ujar Yahudi sinis. Jawab Ibnu Hajar, "Betul, demikian sabda Nabi saw riwayat Imam Muslim." "Kalau begitu, akulah mukmin dan kamulah kafir!" hardik Yahudi. "Oh gitu," sahut Ibnu Hajar sembari tersenyum lagi, "Mengapa begitu, hai Ahli Kitab yang malang?" Yahudi menjawab, "Lihat saja keadaanku seperti ini, persis seprti di penjara. Sementara engkau bergelimang kemewahan, seperti di surga...!" "Dunia, bagi kami yang beriman kepada Allah memang adalah penjara. Dikerangkeng dan dibatasi oleh syariat-Nya. Meski demikian kami sangat menikmatinya, bahkan di antara kami telah mampu menaklukkannya. Sehingga jadilah dunia surga buat kami. Sementara bagi kalian yang tidak beriman, dunia ini sudah kalian sulap dengan kebebasan dan kemewahan. Dan tidak jarang, kalian terpenjara sendiri karena ulah nafsu liar kalian," jawab Ibnu Hajar bijak. Tertunduklah Yahudi dan di hatinya kini membersit keimanan. Dan ujung cerita ini, mantan Yahudi ini pun kemudian menjadi orang yang sangat kaya raya, namun sinar keimanannya menjadikan kekayaannya tidak lupa dan semakin mendekat kepada Zat yang mengkayakannya, Allah al-Mughny. Saudaraku, petikan kisah ini pada akhirnya berpesan kepada kita, dunia boleh dicari bahkan Islam menganjurkan untuk menaklukannya. Imam Ali karramallahu wajhah pernah berujar, "Kuasai dunia dan pimpinlah dia. Letakkan dia di tanganmu, tapi jangan sekali-kali menyimpannya di hatimu!" Di era sekarang, masyarakat Muslim serba terbelakang dan berbenam kepapaan, mutlak bagi setiap individu muslim harus kaya, tapi jangan sampai gila harta, ia hanya washilah untuk meraih surga sebelum surga sebenarnya. Bukankah kewajiban mengeluarkan zakat dan menunaikan ibadah haji, termaknai bahwa kita sebagai yang beriman kepada-Nya harus memiliki kemapanan financial. Zakat, terutama zakat maal, diwajibkan hanya kepada mereka yang mampu (istitho’ah). Begitu juga dengan haji dan umrah. Mari saatnya kita rebut kemapaman diri untuk berupaya mengangkat harkat martabat Islam dan kaum muslimin. Wallahu A'lam.