spiritual kita seperti laut, kadang pasang kadang surut, jiwa kita seperti langit, kadang cerah kadang mendung, pengetahuan kita seperti kaca, kadang jernih kadang buram---------Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Saturday 18 May 2013

Penyesalan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Bobby Herwibowo Yasin berusia 15 tahun saat itu. Ia lulus dari SMP dengan nilai buruk. Orang tuanya lantas memasukkan Yasin ke sebuah pesantren. Namun, Yasin tidak suka hidup di pesantren. Menurutnya pesantren terbelakang, dan tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Ia kesal dan marah. Namun, ia dan orang tuanya tak punya pilihan lain sebab ia tidak diterima di SMA Negeri. Sedang untuk masuk sekolah swasta, orang tuanya tak mampu. Maka Yasin dimasukkan pesantren karena terbentur masalah ekonomi. Baru tiga hari di pesantren, ia sudah tak betah. Mandi antri, makan antri, sandal hilang lenyap. Pendek kata, ia tak betah. Apalagi pelajaran, jangankan soal fikih, nahwu, sharaf, tafsir, hadis, dan segudang ilmu lainnya, membaca Alquran pun ia tidak sanggup. Semua itu menjadi akumulasi kekesalan Yasin yang membuat ia ingin keluar pesantren. "Tak sanggup aku belajar di sini" gumam batin Yasin. Menjelang Maghrib, sirene meraung keras ke segala penjuru pesantren untuk memaksa semua santri segera ke masjid. Para ustaz dan santri senior mengatur duduk para santri di masjid. Tradisi di pesantren itu melazimkan seluruh santri membaca surat al-Waqiah dan al-Mulk sebelum Maghrib. Yasin pun turut serta sambil memegang Alquran. Amat sulit ia mencari kedua surah itu, sebab memang jarang membaca Alquran. Seorang bocah kelas dua Tsanawiyah (setingkat SMP) yang duduk di sebelahnya, memperhatikan Yasin. "Mari aku bantu mencarinya, kak," kata anak itu. Namanya Ahmad. Dalam hitungan detik, Ahmad sudah menemukan letak kedua surah itu. Ketika bacaan ta’awaudz dan basmalah dimulai dan diikuti seluruh santri, Yasin mencoba menirukannya. Namun, begitu ayat selanjutnya, Yasin tak mampu lagi mengikutinya. Alih-alih bisa menirukan, membaca saja dia tak tahu. Yasin terlihat gelagapan. Ia kesal karena tak bisa mengikuti bacaan para santri lainnya. Dari dalam hatinya, muncul rasa malu. Sebab, ia yang duduk di kelas 1 SMA, kalah dengan bacaan anak usia di bawahnya, seperti Ahmad. Ia memandangi Ahmad yang begitu menikmati bacaannya. Ahmad mengikuti bacaan Alquran imam dengan begitu rileks. Fasih sekali bacaannya. Suaranya pun terdengar merdu di telinga Yasin. Tampaknya, Ahmad sudah hafal kedua surah itu. Menyaksikan kebodohannya itu, Yasin benar-benar merasa dipermalukan. Ia iri melihat Ahmad dan para santri lainnya yang lancar membaca Alquran. Ia pandangi Alquran itu hingga air matanya menetes di pipinya. Tergambar penyesalan dibenaknya. Usianya sudah 15 tahun, namun belum bisa membaca Alquran. "Ya Allah, ke mana saja saya selama ini?" ujarnya mulai sadar. Sejak saat itu, Yasin bertaubat kepada Allah SWT dan giat belajar membaca Alquran. Ia gunakan waktu yang ada untuk belajar dan terus belajar untuk mengejar ketertinggalannya. Usahanya tak sia-sia. Selama tiga tahun di pesantren atau enam semester, ia menjadi juara umum di sekolahnya. Bahkan, atas prestasinya itu, ia juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo. Kini, Yasin telah berusia 40 tahun. Ia mengenang kisah itu di hadapan saya dengan mata berkaca-kaca. “Saya sangat menyesal, karena selama belasan tahun telah membuang umur dengan sia-sia. Saya memohon ampunan kepada Allah,” ujarnya. Itulah momen hidayah yang didapatkan Ustaz Yasin. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.

No comments:

Post a Comment