spiritual kita seperti laut, kadang pasang kadang surut, jiwa kita seperti langit, kadang cerah kadang mendung, pengetahuan kita seperti kaca, kadang jernih kadang buram---------Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Sunday 21 December 2014

Bikin senyum

Muhadatsan atawa Konferzesyen
Yahya C. Staquf

Di masa mudanya, Kyai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah guru yang tekun di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati. Beliau memegang mata pelajaran Bahasa Arab. Meskipun telah memiliki reputasi intelektual yang langka tanding –terutama sebagai seorang adiib (ahli sastra Arab), beliau tak segan mengajar "anak-anak kecil" layaknya guru kelas rendahan. Jam pelajaran yang sudah terjadwal tak pernah beliau tinggalkan.

Maka menjadi kejutan yang tak masuk akal ketika tiba-tiba beliau keluar kelas ditengah jam pelajaran yang belum usai, lalu mangkir mengajar berbulan-bulan. Apa pasal?

Kyai Sahal menugasi murid-murid kelas tiga untuk melakukan praktek muhadatsah (percakapan). Beliau pasangkan murid-murid itu dua orang dua orang, lalu beliau perintahkan mengarang skenario percakapan dalam Bahasa Arab secara bebas. Pada jam pelajaran yang sama minggu berikutnya, mereka harus sudah siap.

Terbukti pengajaran Kyai Sahal tidak sia-sia. Pada saat yang ditentukan, sepasang demi sepasang murid-murid itu melaksanakan tugas dengan baik sekali. Ada yang memerankan dokter dan pasien, ada peran guru-murid, pedagang dan pembeli, orang tua menasehati anak, pengemis dan orang pelit, polisi menangkap maling, dan lain sebagainya. Semua diperankan dengan percakapan Arab yang nyaris sempurna.

Tibalah giliran Gus Mu'adz, sepupu Kyai Sahal sendiri, yang kebetulan dipasangkan dengan anaknya modin desa sebelah. Sebenarnya, sejak Gus Mu'adz mulai melangkah kedepan kelas, Kyai Sahal sudah "pasang kuda-kuda". Beliau tahu, sepupunya itu mbeling. Beliau sadar harus punya persiapan mental yang ekstra.

Dua orang murid sudah berdiri berhadap-hadapan. Raut muka mereka tampak begitu seriusnya.

"Ayo mulai!" perintah Kyai Sahal.

Keduanya mengangguk, lalu saling memberi kode.

Gus Mu'adz       : Man robbuka?

Anaknya Modin : Allaahu robbii.

Gus Mu'azd       : Man Nabiyyuka?

Anaknya Modin : Muhammadun Shollallaahu 'Alaihi Wasallama nabiyyii.

(Murid-murid mulai cekikian. Kyai Sahal menunduk, membolak-balik buku pegangan yang ada diatas meja).

Gus Mu'adz       : Maa diinuka?

Anaknya Modin : Al Islaamu diinii.

Gus Mu'adz        : Maa qiblatuka?

Kyai Sahal tiba-tiba beranjak dari kursi, lalu melangkah cepat keluar kelas tanpa sepatah kata!

Murid-murid ribut. Dimulai dengan pecahnya tawa tak terkendali, lalu segera berubah tudingan mempersalahkan Gus Mu'adz dan pasangannya yang tampaknya telah membuat Kyai Sahal marah sekali.

"Aku 'kan cuma melaksanakan tugas", Gus Mu'adz membela diri, "katanya percakapan bebas… Itu tadi aku pilih jadi Munkar-Nakir, lha anak ini jadi mayitnya… bapaknya kan sudah biasa nalqin…"

No comments:

Post a Comment