spiritual kita seperti laut, kadang pasang kadang surut, jiwa kita seperti langit, kadang cerah kadang mendung, pengetahuan kita seperti kaca, kadang jernih kadang buram---------Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Sunday 18 October 2015

Air Mata Ibu


oleh: Mairi Nandarson


Ibu menangis. Air mata mengucur di pipinya yang cekung. Ketika itu aku
baru selesai berdzikir setelah mengimaminya. Tasbih ditangannya terus
berputar, bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk
dalam isak dan deraian air mata.  "Kenapa Ibu menangis?" pertanyaan itu terpaksa kusimpan. Aku tidak akan mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai kemungkinan penyebab menangisnya Ibu. Mungkinkah kematian Bapak? Tapi,  bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah lima tahun. Atau karena tanah kuburan Bapak yang tidak mendapat izin untuk dibeton dan hanya boleh didirikan batu nisan. Hal itu tidak akan membuat Ibu menangis. Aku sangat  mengenal Ibu. Ibu paling tidak menyukai hal-hal yang berbau kemewahan. Ibu  selalu ingin menginginkan kesederhanaan.
Kenapa Ibu menangis? Sayang aku sangat jarang pulang dan tidak bertemu Ibu
setiap hari. Hingga aku kurang mengetahui keadaan Ibu belakangan ini.
Mungkin ada suatu persoalan yang membebaninya....


Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya
musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu
lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar
dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu.  Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga selesai berdzikir. Aku sudah selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdoa, mohonkan ampun atas dosa Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga usai.  Aku berdiri dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang shalat dengan tetap
menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di
ruang makan.  Bukankah Ibu selalu khusyuk dalam shalat? Kembali aku dibayang
berbagai kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat,
mengaji dan  berdzikir? Bukankah Ibu paling senang mendengarkan ceramah di
masjid?  Bukankah Ibu juga tidak melewatkan acara wirid? Bukankah Ibu
sudah cukup punya bekal untuk menghadapi segala cobaan...

Tapi kenapa Ibu sampai menangis?  Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami Ibu. Sudah berulang kali.  Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat  shalat maghrib dan isya. Ibu sudah berumur tujuhpuluh tahun lebih. Tujuh orang anak
merupakan  berkah yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah
besar. Aku yang  bungsu sudah duduk di perguruan tinggi. Aneh rasanya kalau Ibu masih  bersedih hati diusianya yang senja ini. Seharusnya Ibu banyak
tertawa dan  bercanda bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalalu
bersamanya  setiap hari?  "Sudah makan Yung?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum  mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus.
"Belum Bu, Ayung menunggu Ibu."
"Ibu sudah makan."
"Kapan? Bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun? Ayolah
Bu, Ayung  sudah rindu ingin makan bersama Ibu."
"Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai
menyanduk nasi  dan mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja
tidak makan  nasi. Ia hanya mengambil panganan dan memakannya."Bagaimana
kuliahmu?"
"Alhamdulillah Bu, berkat doa Ibu."
"Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah
 kuinginkan ini selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan  dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan
bekerja keras  untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Uang kost, transport
dan kebutuhan  kuliah. Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat, kadang
tidak.  Ketika dapat alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan
lain.  Jika tidak, maka mau tidak mau aku aku harus puasa. Hal ini
yang sering  aku alami. Tapi persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepada
siapapun,  termasuk Ibu dan saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak
mengeluh.

"Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan rejeki Bu," selalu
 kujawab begitu.  Biasanya Ibu tidak akan bertanya lagi setelah itu.
  "Bu!" sapaku ketika Ibu terdiam.
  "Mmm," jawab Ibu.
  "Kenapa seusai shalat tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam
 mendengar
  pertanyaanku.
  "Ayung cemas melihat Ibu menangis.
  Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu
 membasuh
 tangan
  dan melapnya dengan serbet.
  Ibu masih diam, tapi di matanya kulihat airmata mulai
 berlinang.
  Setelah itu berceritalah Ibu.
  Seminggu yang lalu di surau Balenggek tempat Ibu selalu
 sembahyang

  berjama'ah, ada ceramah agama mingguan. Ketika itu
 penceramahnya
 datang
  dari luar daerah. Ibu mengikuti ceramah tentang anak yang
 berbakti
 kepada
  orang tua dan anak yang shalih..

  "Anak-anak yang shalihlah yang menyelamatkan orang tuanya dari
 api
 neraka,
  karena doa anak yang shalih sangat didengar oleh Allah swt,"
 kata
 ustad. "
  Tapi sebaliknya orang tua tidak selamat dari api neraka jika
 anak
 yang
  dididiknya tidak mampu menjalankan ibadah dan tidak pandai
 membaca

  Alquran.
  "Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu
 waktu
 itu.
  "Ya, apa artinya kita taat tapi tidak membuat anak taat kepada
 Tuhannya.
  Apalagi sampai tidak bisa sembahyang dan mengaji, anak yang
 jauh
 dari
  perintah Allah dan mendekati laranganNya. Maka orang tuanya di
 akhirat
  akan ditanya tentang anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan
 orang
 tua jika
  di akhirat nanti anak mengakui dirinya tidak dididik oleh
 orang
 tuanya
  untuk taat beribadah. Tidak pernah menegur, memukul bahkan
 menamparnya,
  jika lalai menjalankan perintah agama."
  Ketika itu Ibu menyadari apa yang sudah dilakukannya selama
 ini.
 Ibu ingat
  Jai, Jou, Han dan Fai. Saat itulah Ibu merasa hidup dan
 ketaatannya selama
  ini tak berarti sama sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan
 melamun.
  Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Alquran di
 rumah
 dan
  jarang sembahyang, bahkan tidak pernah sama sekali. Ibu merasa
 bersalah
  setelah mendengar ceramah itu. Ibu menyadari bahwa ia tidak
 mendidik
  anak-anaknya sesuai ajaran agama. Ibu selalu tidak tega
 memarahi
 anaknya,
  dan melihat anaknya menangis, apalagi kalau ada yang murung
 dan
 kesal.

  Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat
 membaca
  Alquran Ibu tidak pernah tega memaksa mereka untuk belajar
 Ibupun
 tidak
  marah. Bukankah ini berarti Ibu tidak sanggup mendidik anak.
 Bukankah Ibu
  gagal menjadi orang tua?
  "Tapi Bu, bukankah Ayung selalu taat sembahyang dan membaca
 Alquran? Dan
  Ayung selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya
 usaha
 Ayung
  selama ini Bu?" kataku kepada Ibu.
  "Terima kasih Yung, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu
 mampu
  menjadi imam untuk Ibu. Ibu pun selalu berdoa untukmu. Yang
 Ibu
 pikirkan
  adalah kakak-kakakmu yang tidak mampu membaca Alquran dan
 tidak
  menjalankan shalat."
  Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat
 berjama'ah,

  walaupun sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di ruamh.
 Mereka
 lebih
  suka duduk di lapau dan sepertinya tidak menghiraukan
 panggilan
 azan yang
  berkumandang dari masjid. Dan Ibu tidak pernah menegur hal
 itu.
 Aku pun
  tidak pernah mempersoalkan mereka. Sementara aku merasa takut,
 selain
  karena lebih kecil juga karena aku takut menca
  mpuri urusan mereka.

  "Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu
 yang
 taat,
  yang mengimami Ibu, walaupun kamu yang terkecil. Entahlah..
 Ibu
 sudah
  semakin tua, ajal sudah di ambang pintu. Ternyata Ibu masih
 meninggalkan
  banyak pekerjaan yang tidak selesai, ternyata Ibu tidak mampu
 mendidik
  kalian dan kalian ternyata tidak bisa mendidik diri sendiri,"
 kata
 Ibu
  terisak.
  Air mataku mengalir tanpa terasa.
  "Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu Yung! Kamu
 tidak
  henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu
 bahwa
 membuat
  orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Han kakakku
 yang
 nomor
  tiga datang dan memarahiku.
  "Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu,
 itu
 cengeng
  namanya. Lihat tuh di lepau orang-orang ramai. Duduklah di
 sana
 biar orang
  tahu bahwa kita bermasyarakat. Bukan dalam rumah,"
  katanya lagi sambil menekan kepalaku.
  "Jangan kasar begitu pada adikmu Han. Ia kan baru sele...,"
  "Kalau tidak seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu,
 yang
  duduknya cuma di dapur."
  "Tapi ia kan masih kuliah."
  "Aah. Ibu selalu membelanya, mentang-mentang ia kuliah.
 Walaupun
 Han tidak
  pernah kuliah, Han ini anak Ibu. Sekurang ajar apapun aku yang
 melahirkan
  Han adalah Ibu. Tapi kenapa dia, Ibu perlakukan berbeda dengan
 Han?" Han
  menunjuk-nunjuk diriku.
  Mendapat serangan kata-kata seperti itu, Ibu menangis lagi.
 Aku
 hanya
  terdiam terpana ketika Han kemudian berlalu dan tidak
 menghiraukan
 tangis
  Ibu.
  Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku menghapusnya, tapi
 bagamana
 dengan
  kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma,
 kamarabbayana
  saghiraa. Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan.*

  (Ummi Edisi 9_11)


No comments:

Post a Comment