spiritual kita seperti laut, kadang pasang kadang surut, jiwa kita seperti langit, kadang cerah kadang mendung, pengetahuan kita seperti kaca, kadang jernih kadang buram---------Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Tuesday 27 October 2015

Bersyukur, bersyukur, bersyukur

Oleh: Abdul Muid Badrun
REPUBLIKA.CO.ID,
-- Saat pulang kantor, saya memberhentikan mobil. Saya lihat dari kaca spion, seorang nenek berjalan kaki sambil berjualan. Umurnya (tampak dari wajah dan cara berjalannya) mungkin di atas 60 tahun.
Di pinggir jalan menuju rumah yang tiap sore ramai, saya kemudian bertanya. "Mau beli rengginang, Nek! Berapa harganya?" "Enam ribu satu bungkus," jawabnya singkat. "Adik mau beli berapa bungkus?" "Dua bungkus saja, Nek," jawabku. "Dua bungkus Rp 12 ribu," ujar si nenek.
Lalu, saya membuka dompet dan mengambil uang Rp 20 ribu. Nenek buru-buru mengeluarkan uang untuk memberi kembalian. Namun, saya bilang, "Kembalian itu untuk Nenek saja." "Terima kasih Den, hati-hati," katanya berpesan.
"Nek, putranya di mana? Kok, Nenek masih berjualan? Jalan kaki lagi!" tanyaku keheranan. "Anak-anak tidak mau tinggal sama Nenek. Tiap hari Nenek berjalan kaki, berjualan dari Kebayoran Lama sampai Ciledug untuk bisa makan."
"Berapa sehari Nenek dapat untung?" tanyaku penuh kasihan. "Tidak mesti Nak karena rezeki Tuhan yang atur. Kadang dapat untung Rp 20 ribu, kadang Rp 10 ribu. Semua itu Nenek syukuri, yang penting Nenek sehat dan tidak menjadi beban orang lain."
Sampai di sini, saya pun malu dan seperti tertampar hebat. Ternyata, selama ini saya kurang bersyukur. Pertemuan sore itu menyadarkan saya betapa hidup itu "wajib" hukumnya bersyukur.
Dapat musibah, bersyukurlah. Dapat ujian, bersyukurlah. Dapat masalah, bersyukurlah. Dapat kesulitan, bersyukurlah. Apalagi dapat kenikmatan, tentu mudah sekali orang untuk bersyukur. Musibah, ujian, masalah, dan kesulitan boleh jadi itu cara Tuhan melihat kualitas keimanan kita.
Boleh jadi, Tuhan kangen dan rindu pada hamba-Nya sehingga ingin memeluknya dengan lebih dulu diberi "ujian" kesulitan demi kesulitan. Bahkan, dalam Alquran pun dijelaskan, "Siapa yang pandai bersyukur, maka Aku akan tambah nikmatnya dan barang siapa kufur (tak mau bersyukur) atas nikmatku, maka sungguh azabku sangat pedih (QS Ibrahim [14]: 7).
Dari sini, bersyukur adalah perintah implisit dari Tuhan langsung kepada hamba-Nya. Karena dalam hidup ini, sejak kita lahir sampai meninggal, dipenuhi "utang" kita pada Tuhan Sang Pencipta. Coba kita hitung, berapa harga satu jari ketika jari itu putus. Berapa harga satu tangan ketika tangan itu patah. Berapa harga satu kaki ketika kaki itu tiada.
Berapa harga oksigen ketika kita sedang sekarat. Bahkan, berapa harga nyawa ini ketika sudah mati. Tentu, semua itu tidak ternilai harganya. Namun, kita dapatkan secara gratis dari Tuhan. Maka, pantas jika kita selalu diingatkan akan ayat-Nya, "Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan!" (QS ar-Rahman [55]: 55).
Jadi, bersyukur adalah kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Tanpa bersyukur, sejatinya kita tidak pantas untuk hidup. Karena, apa yang saat ini kita miliki adalah yang terbaik menurut Tuhan dan kita. Bukan sebaliknya!
Bersyukurlah, karena dengan sebenar-benarnya bersyukur, jaminannya akan ditingkatkan kenikmatan hidupnya. Cara sederhana bersyukur dengan memelihara apa yang sudah diberikan pada kita. Jika saat ini sehat, jaga kesehatan itu agar penyakit tak mendekat. Jika ada waktu luang, gunakan untuk menebar kebaikan dan kebenaran. Jika mendapat amanah, sampaikan kepada yang berhak menerimanya. Sudahkah kita bersyukur hari ini?
Red: Agung Sasongko

No comments:

Post a Comment