spiritual kita seperti laut, kadang pasang kadang surut, jiwa kita seperti langit, kadang cerah kadang mendung, pengetahuan kita seperti kaca, kadang jernih kadang buram---------Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Monday 23 March 2015

Belajar fiqih 18

➖➖➖➖➖
�� Halaqoh 18
�� Furudhul wudlu' (bag 2) : Definisi Niat
�� Oleh Ust. Abu Ziyad Eko Haryanto, MA
-----------------------
بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
أَلْحَمْدُ لِلّهِ وَالصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ سَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Ikhwan dan akhwat para peserta kajian fiqh syarh Matan Abu Syujā' yang dimuliakan Allāh, pada kesempatan kali ini kita memasuki halaqoh yang ke-18 dan kita masih membahas furūdhul wudhū'.

Yang pada halaqoh sebelumnya sudah kita bahas tentang niat dan membasuh muka.

Untuk niat ada sedikit tambahan bahwasanya:
• niat secara bahasa adalah:

القصد والعزم على شيء 

Bertujuan dan berkeinginan untuk melakukan sesuatu (dengan sungguh-sungguh)

• niat secara istilah
Para ulama memiliki perbedaan;
√ Menurut Madzhab Hanafiyyah

قصد الطاعة والتقرُّب إلى الله تعالى في إيجاد الفعل

Disebutkan oleh Ibnu 'Ābidīn:
Niat adalah tujuan hati untuk melakukan keta'atan dan mendekatkan diri kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla untuk melakukan suatu perbuatan.

√ Menurut Madzhab Maliki

قصد المكلف الشيءَ المأمور به

Niat adalah tujuan seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan.

√ Menurut Madzhab Syāfi'i
Disebutkan oleh Imam Al-Mawardi (termasuk pembesar ulama SyāFi'iyyah)

قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ

Niat adalah tujuan untuk melakukan sesuatu disertai dengan perbuatan tersebut.

Makanya dalam madzhab SyāFi'i disebutkan bahwa syaratnya niat adalah ketika mulai membasuh muka, jadi niat itu dihadirkan ketika pekerjaan mulai dikerjakan.

Adapun kalau dia berniat untuk melakukan sesuatu namun pekerjaannya dilakukan terlambat, misal sekarang niat lalu 1 jam kemudian baru dikerjakan maka belum bisa dinamakan niat tapi 'azzam (berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang belum dikerjakan).

√ Menurut Imam Nawawi (seorang ulama besar SyāFi'iyyah)

عزم القلب على عمل فرض أو غيره

Niat adalah keinginan hati untuk mengerjakan sesuatu yang fardhu (wajib) atau yang sunnah.

Jadi intinya, keinginan hati untuk melakukan sebuah amalan terutama dalam masalah ibadah.

√ Menurut Madzhab Hanabilah
Dikatakan oleh Imam Al-Bughuti

وشرعًا: العزم على فعل العبادة تَقرُّبًا إلى الله تعالى

Niat adalah keinginan hati untuk melakukan sebuah ibadah (dengan niat) untuk mendekatkan diri kepada Allāh Ta'āla.

Niat yang dimaksud adalah niat dalam ibadah yang dengannya ibadah itu ditentukan diterima atau tidak, jika niatnya karena Allāh maka ibadah itu diterima dan kalau tidak karena Allāh maka jadi sia-sia.

Kalau kita perhatikan, niat disini semua menunjukkan bahwasanya niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut yang diucapkan dengan lisan.

Oleh karena itu mengatakan talaffuzh niyāt (melafazhkan niat) itu tidak ada dalilnya, baik dari AlQurān maupun AsSunnah dan para ulamapun tidak menyebutkan. Yang kita lihat tadi adalah ta'rīf ulama besar dari masing-masing madzhab. Tidak ada yang menyebutkan niat adalah talaffuuzh bil lisān, tidak, semua berkata 'azmul qalbi (keinginan hati).

Ini menunjukkan bahwa para ulama sepakat niat itu tempatnya dihati, tidak perlu diucapkan "nawaytu" atau "ushalli fardha", tidak perlu, karena niat itu didalam hati.

Ketika kita sudah membasuh muka (atau membasuh tangan sebelum muka), sebenarnya kita sudah niat dalam hati, karena untuk apa kita cuci tangan kalau bukan untuk wudhu.

Dan ini disemua ibadah sama, baik wudhu, shalat, puasa, zakat, semua niat cukup dihadirkan dalam hati dan tidak perlu dilafazhkan di lisan.

Bahkan sebagian ulama mengatakan "talaffuzh bin niyyāt termasuk bid'ah", karena tidak ada dalil. Kalau tidak ada dalil tapi kita menganggapnya sebagai ibadah, apalagi kalau bukan menambah hal baru dalam masalah agama.

Oleh karena itu, dalam kita beragama dan melaksanakan dīn yang mulia ini harus berdasarkan dalil.

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

"Setiap dari pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan ditanya." (Al-Isra 36)

Dihadapan Allāh akan ditanya ada dalilnya atau tidak. Jika kita menjawab hanya sekedar ikut-ikutan maka tidak akan diterima jawaban tersebut.

Jika ada dalil kita kerjakan dan jika tidak ada dalil maka kita tinggalkan.

Itulah agama yang mulia ini.

Terima kasih.

وَصَلَّى اللّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
___________________
�� Transkriptor : Ummu 'Abdirrahman
♻ Editor : Farid Abu Abdillah
�� Murojaah : Ust. Abu Ziyad Eko Haryanto M.A.

No comments:

Post a Comment